Jumat, 09 Maret 2012

SINOPSIS dan PENELAAHAN : Bambang Dwihastha Karya Ranggawarsita


BAMBANG DWIHASTHA
(KARYA : RANGGAWARSITA)

Serat cariyos wayang purwa Bambang Dwihastha adalah salah satu karya Raden Ngabehi Ronggawarsita, seorang pujangga Jawa yang sangat legendaris dan termasyhur. Banyak karya yang telah dihasilkannya. Dan hampir kesemuanya terkenal. Sebagai seorang pujangga muda, beliau mampu menghasilkan karya yang luar biasa pada masanya. Karyanya ada yang berbentuk tembang macapat, puisi baru dan juga tembang tengahan atau tembang ageng. Beliau terkenal sebagai salah seorang tokoh mistik Jawa karena dalam karangannya banyak mengajarkan ilmu-ilmu tasawuf dan ajaran ketuhanan.
Seorang Ronggawarsita adalah pujangga yang pandai, dan mempunyai ciri khas dalam karya ciptanya, yaitu sandiasma. Memang tak semua hasil ciptaannya memuat sandiasma, namun karena sebagian besar karyanya terdapat sandiasma-nya, maka dapat mewakili identitas atau ciri khasnya.
Selain karya-karyanya yang fenomenal, beliau juga menyimpan berbagai misteri dalam kehidupannya. Bahkan kebenaran mengenai kematiannya pun masih menjadi misteri yang belum terkuak sampai sekarang. Ada kabar bahwa Ronggawarsita mati terbunuh, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau menghilang begitu saja.
Bagaimanapun misteri yang melingkupinya, karya-karya Ronggwarsita patut untuk ditelaah kandungan isinya. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan tak dapat dipungkiri lagi bahwa hasil karyanya sangatlah berbobot dan banyak mengandung ajaran-ajaran yang patut kita pelajari serta mengandung filosofi-filosofi Jawa yang mumpuni.

A.    SINOPSIS CERITA NASKAH BAMBANG DWIHASTHA

v ASMARANDANA

Sang Raja Gajah Marapah merasakan sedih dan bingung karena merasakan kerinduan kepada sang putri cantik jelita dan syarat yang harus dipenuhi olehnya untuk meminang puteri. Dalam kesedihannya itu ia menghibur diri dengan berkumpul dengan pria-pria lain sebagai perintang waktu. Di balai hadapan Si Gajah Marapah lengkap dengan para ponggawa lengkap dengan bala tentara yang bagaikan gelombang samodra.
Barisan terdepan adalah kedua mangkubumi yaitu Patih Naga Banda, ia seekor naga yang sangat besar, mulutnya lebar seperti mulut goa. Sedang yang satu adalah Kidang Matandang, ia seekor kijang yang berbulu halus berwarna ungu menyilaukan mata, lompatannya gesit seperti angin. Maka bersabdalah Sang Gajah  Marapah kepada mereka tentang kesedihannya memikirkan permohonan kedua puteri yang membuatnya bimbang. Mereka memiliki permintaan yang sama yaitu mereka menghendaki kawin madu, dua wanita satu pria.
Sedangkan raja Marapah sudah berjanji bahwa putri patih Bisakesa yang bernama puteri Bisakesi untuk Naga Banda. Namun karena ulah dari kedua putri yang mengajukan permohonan yang sama menyebabkan Sang Raja dan Patih itu kesulitan untuk meminang mereka. Mereka tetap kukuh pada keinginannya untuk dimadu dan hanya melayani satu suami saja.
Memang sudah sepantasnya apa yang menjadi janji seorang puteri utama itu tidak hanya di bibir saja kemudian lain di hati. Mereka berdua akan selalu mengikat janji itu bersama selamanya dan apabila keinginan itu tidak terpenuhi maka mereka memilih untuk mengakhiri hidupnya saja. Keingininan yang mereka inginkan pantang untuk tidak dituruti.
Pemikiran Sang Raja Gajah Marapah yang berandai-andai jika kedua putri itu digagahi dan memaksa mereka untuk memenuhi keinginannya, maka hal itu tidak akan terjadi lagi karena pasti setelah itu mereka akan bunuh diri yang pada akhirnya kita sendiri yang akan merana karena kerinduan dan cinta yang patah di tengah jalan. Bukan hanya tersiksa karena perasaan diri sendiri namun juga akan mendapat cercaan, hinaan serta caci maki. Akan tetapi bila keinginan puteri itu terlaksana, bermesraan bersama, seiya sekata, maka akan menjadi kenikmatan hidup.
Kidang Matandang berpendapat bahwa Sang Raja Gajah Marapah harus bersabar  apabila ingin mendapatkan kasih dari sang Puteri, dikarenakan kenyataannya mereka sudah menyebabkan paduka kecewa dan harus berhati-hati dalam bertindak agar nantinya akan berbuah hasil yang manis. Dia mengibaratkan seperti pepatah ikan telah terletak pada hidangan, artinya bahwa dia sudah tersedia sewaktu-waktu bisa dipakai. Andai kata tetap memaksakan diri hanya kepahitan yang diterima dan lebih baik bersabar. Kidang Matandang mengalihkan pembicaraan tentang Puteri untuk memikirkan hal lain yang lebih penting yaitu bagaimana keadaan mertua yang entah berada dimana.
Sang Raja Gajah Marapah seketika itu teringat dan terbayang akan wajah mertuanya yang tidak diketahui keberadaannya. Hatinya tersentuh terkenang bagaimana hidup di hutan yang penuh dengan mara bahaya yang sewaktu-waktu bisa mengampiri. Setelah meremima sembah Kidang Matandang, Gajah Marapah menunjuk empat orang punggawa raksasa perkasa yang berani dan sudah terbiasa berlaga d medan perang. Mereka adalah Pancakmuka, Mukapancaka, Rodaloka, dan Kalikaroda.
Para punggawa berujuk kekuatan, kesaktian dengan sombongnya di depan Raja Gajah Marapah, dan dengan pertunjukan itu Raja yakin bahwa pra punggawanya sanggup untuk diberikan tugas untuk menemukan mertuanya yang sedang berkelana. Dengan senang hati para punggawa itu bergegas pergi dan melaksanakan perintah Raja Gajah Marapah. Perintah Raja adalah membawa Prabu Bisaka dan adiknya Harya Bisakesa untuk mengadakan perayaan pesta perkawinannya dengan meriah.
Apabila sudah bertemu dengan Prabu dan adiknya ajaklah dengan baik-baik agar mereka mau ikut, dan apabila mereka tidak mau maka jangan kau disakiti namun pakailah cara dengan hanya ancaman dan gertakan  supaya mereka takut. Punggawa Raja Marapah diperintahkan untuk menjaga mrtua dan adiknya supaya dalam perjalannya lancar. Punggawa pamit melaksanakan perintah dengan membawa pasukan yang terpilih lengkap dengan perlengkapan perang untuk berjaga dari bahaya.
Setelah memberikan perintah kepada punggawanya, seekor gajah yang bertahtakan intan permata dengan cincin yang melingkar pada belalainya ratna bermutu manikin tidak lain Raja Gajah Marapah segera menuju taman yang disitu ada putri cantik jelita. Sang puteri Bisawati dengan keadaan yang menyedihkan. Matanya bengkak karena kurang tidur dan tak henti-hentinya menangis memikirkan nasibnya.
Tak bisa menghindar sang Gajah Marapah tiba di taman dan dia merayu puteri dengan manisnya memberikan hiburan kepada sang puteri yang walaupun menyedihkan tetapi tidak mengurangi kejelitaannya agar bisa membuatnya senang. Sang Raja akan menyanggupi semua keinginan karena dia adalah Raja yang besar, gagah, dan berkuasa maka dapat mewujudkan apa yang diinginkan puteri. Gajah Marapah akan menuruti semua permintaan sang puteri apabila sang puteri mau berkasih-kasihan dengannya.
Namun apalah daya seorang Raja yang bertahta itu lebih memilih mundur dengan perasaan yang kecewa setelah mendengar sang puteri yang tetap kukuh pada pendiriannya dan meragukan kekuata, kemampuannya sebagai seorang raja yang hanya untuk memadukan dia dengan Bisakesi dia tak segera bisa memenuhinya. Padahal dia selalu mengatakan bahwa segala permintaan puteri akan dapat ia kabulkan. Raja Gajah Marapah kembali ke peraduannya dan menyabarkan diri.
Di kepatihan puteri Bisakesi jauh lebih tenteram menikmati kehidupannya. Hal tersebut dikarenakan sang puteri telah menerawang jauh dan sampai pada berpasarah kepada Hyang Agung yang memberinya perlindungan. Sebagai makhluk dari sang Khalik maka segala tindak tanduk telah terikat an tidak ada yang menghalangi apa yang harusnya terjadi. Kehendak dari Hyang Agung itu Maha benar Dan Maha Sempurna, sehingga apabila jodohnya adalah seekor ular maka itulah yang terbaik karena jodoh sejati adalah jodoh yang sebenarnya yang sudah digariskan oleh Hyang Agung. Wajah dan tubuh sang puteri bersinar menambah pesona kejelitaannya.
Patih Naga Banda mengunjungi puteri Bisakesi yang sedang duduk di taman. Geleser-geleser jalannya si patih Nagabanda menuju puteri sambil mengucap rayuan-rayuan kepada puteri sudilah kiranya mau berbalas dendam rindu yang lama terpendam dibenak untuk beradu kasih. Patih Naga Banda akan memberikan segalanya untuk puteri Bisakesi apabila ia sudi untuk dipinang olehnya, bahkan jiwa raga hidup dan matinya dengan mantap ia katakan untuk sang puteri jelita. Namun apalah arti dari rayuan itu, puteri tetap tidak akan mau jikalau tak bersama puteri Bisawati untuk berbalas rindu. Sudah berapa kali dia mengatakan permintaannya itu sangat kecil dan tak sebanding dengan kekuasaan yang dimiliki Naga Banda akan tetapi mengapa itu terasa sulit baginya.
Mendengar jawaban puteri, Patih Naga Banda terasa terludahi. Ia menganggap bahwa Bisakesi merindukan kasih dari Raja Marapah dan sekaligus menghinanya dengan menutup-nutupi maksud hatinya untuk dipersunting raja Marapah. Naga Banda kemudian menjelek-jelekan Raja Marapah di hadapan puteri Bisakesi, ia membanding-bandingkan dengan dirinya yang lebih gagah, lebih berani, disbanding dengan Raja Gajah Marapah yang hanya mengandalkan tubuh besarnya namun tak berisi, congkak namun kurang perhitungan.
Mendengar hal itu puteri Bisakesi kecewa dan heran kepada Naga Banda, dimana dia adalah seorang yang berpangkat akan tetapi bertidak seperti itu. Bisakesi hanya memberikan nasihat kepada Naga Banda, bukankah sebagai kawula raja seharusnya bisa bersikap bijaksana, setia dan taat melaksanakan perinta raja. Jangan hanya karena perkara wanita kemudian kesetiaan dan pengabdian menjadi tidak berimbang. Bukan kah sifat yang taat dan patuh itu merupakan hal wajib yang harus ada dalam diri punggawa kerajaan dan mengetahui mana yang baik dan buruk. Mendengar pernyataan itu si Patih Naga Banda tidak menjawab satu patah katapun dan mundur kembali keperaduannya.
Lain pula Patih yang lain lagi yaitu Kidang Matandang, yang berwujud seekor kijang. Di tempat peristirahatannya dengan tenag ia menjalin pikirannya untuk menyingkirkan musuhnya yang tak lain adalah Raja Gajag Marapah dan patih Naga Banda. Kidang Matandang berharap agar penghalangnya bisa tersingkir dengan cara yang sehalus-halusnya. Kedua musuhnya bisa dileburkan bersama sekaligus dan pada akhirnya dialah yang mendapat kemenangan dengan memperistri kedua puerti tersebut tanpa ada gangguan sedikitpun.

v PANGKUR

Pasukan raksasa yang di pimpin oleh keempat punggawa atas perintah raja Gajah Marapah menyusuri jalan yang telah dilalui oleh Prabu Bisaka dan adiknya Patih Bisakesa.Raja dan Patih ini sudah jauh dari kerajaannya Cakrapurastha dan sengaja melewati hutan untuk menhindari musuh. Namun malah raksasa-raksasa itu tidak kesulitan menemui prabu dan patih ini karena mereka terbiasa berkeliaran di hutan.
Dengan menyembah punggawa raksasa mengaturkan salam dan mengatakan apa yang menjadi maksud menemui Prabu dan Patihnya. Kedatangannya untuk menjemput Prabu dan patih untuk kembali ke Cakrapurastha untuk mengadakan pesta perkawinan Raja dengan Putri paduka. Mendengar raksasa itu Prabu Bisaka sangat marah sekali dan menolak ajakannya untuk kembali ke kerajaan. Prabu dan adiknya akan pergi ke Dwarawati untuk meminta bala bantuan agar bisa memusnahkan Raja Marapah dan keangkaramurkaannya di muka bumi ini.
Mendengar jawaban itu para punggawa memahami kondisi, namun Sri Bisaka dan adiknya tidak mau dengan jalan yang ditawarkan punggawa Raja Marapah dan tetepa akan mencari bala yang lebih kuat dari Marapah, yakni pergi ke Dwarawati. Keempat punggawa itu sangat kesal dan marah karena sifat raksasa tidak bisa mengendalikan diri sendiri. Dengan sigap para raksasa itu menyerang Prabu dan Adiknya.
Prabu dan adiknya sudah mempersiapkan diri sehingga keduanya dengan mudah menghindar dan membalas serangan raksa-raksasa. Lama kelamaan dalam pertarungan itu mereka merasa lelah sedangkan lawan yang mereka hadapi tidak sebandaing dengan mereka yang hanya berdua saja. Namun apa dikata mereka berdua adalah seorang satriya yang sakti dalam waktu sejenak dan sekecap mereka mengheningkan cipta memohon bantuan kepada Hyang Agung.
Doa yanag mereka panjatkan membuahkan hasil yang sangat mengagumkan. Mereka dapat keluar dari pertempuran itu. Sekejap langit menjadi hitam dan suara gemuruh, angin putting beliung, hujan lebat, membuat sekejap raksasa-raksasa itu buta dan ketakutan akan keadaan itu. Mereka bingung dan ketakutan sehingga merreka saling bertubrukan, jatuh kejurang, dan nanyak yang tertimpa batang pohon. Tak mengherankan bila banyak yang mati karenanya.
Dalam kesempatan itu Prabu Bisaka dan Patih Bisakesa keluar dari medan dan sejauh mungkin lari dari medan itu. Menyelinap ke hutan selanjutnya, setelahkejadian mengerikan itu kedua satriya ini mendapati kebahagiaan karena mentari kembali bersinar dengan cerah, pohon-pohon menghijau dan bunga-bunga bermekaran. Sekejap mereka membersihkan pakaian yang kotor lalu berdoa kepada Dewata Agung yang telah memberinya jalan sehingga mereka bisa selamat dari raksasa-raksasa, mereka mengheningkan cipta menhaturkan terimakasih atas karunia-Nya.
Sementara ditempat para raksasa, para punggawa Raja Gajah Marapah mengumpulkan bala tentara raksasa yang tersisa. Dalam keadaan marah capai dan lunglai mereka tetap harus melanjutkan tugas yang menjadi perinta raja mereka yaitu membawa Prabu Bisaka dan Patih Bisakesa ke kerajaan Cakrapurastha.
Dengan tenang Prabu Bisaka dan Patih Bisakesa melanjutkan perjalanan yang tidak ada lagi rasa was-was oleh gangguan ppara raksasa. Keduanya telah memasuki pedesaan, orang-orang tidak mengeathui bahwa kedua orang itu adalah raja yang mereka. Dalam perjalanan mereka dikejutkan dengan suara tangis yang berkepanjangan, mereka kira itu perempuan, tetapi itu suara tangis laki-laki yang meratapi sesuatu yang harus ia tinggalakan kelak.
Perjalanan baginda terpaksa berhenti untuk menyapa dan mencari tahu ada apa gerangan seseorang itu sampai menangis seperti itu. Setelah sampai baginda menemukan seorang kakek tua kaya yang menangis, baginda menyuruh akek agar berhenti menangis dan menceritakan padanya sebab apa yang membuatnya seperti itu.
Sang Baginda menanyakan sebabnya dengan halus, menanyakan mengapa kakek itu menagis sedangkan dia sungguh berkecukupan. Baginda bertanya siapa nama kakek, dan kakek menjawab dia Gusti dan di kampong ini dia terkenal dengan nama Sonyasana. Kakek ini perintis desa, dan kemudian memberi  tahu kepada baginda, bahwa yang membuat sedih itu adalah yang ada sekarang ini, hartanya.
Kakek ini sungguh senang dengan semua harta hasil jeri payah yang selama ini diperjuangkannya siang malam, dengan sangat susah payah, maka dia sangat merasa sayang sekali. Dulu dia rela untuk hidup sederhana demi memenuhi keinginannya menjadi seorang yang kaya raya. Dan sekarang ia selalu membatasi pengeluarannya, seperti itulah hidup kakek ini.
Cita-cita untuk kaya seperti sekarang ini adalah karena berkah baginda, namun mengapa barulah sekarang ia tergugah hatinya dan menyadari bahawa manusia itu tidak bisa hidup selamanya dan akan menemui mati. Itulah alasan mengapa kakek selalu dalam ketakutan dan kecemasan. Setiap kakek melihat semua harta, pakaian yang dipakai, hewan ternaknya, saat itulah dia selalu merasa bingung dan merasa sayang kepada hartanya, dan menagis bila ingatan mati itu terlintas.
Sri Prabu memberikan nasihat kepada kakek itu untuk berhenti dari kesedihanya, dan yang hanya bisa membantu member jalan dia adalah Rajanya yang berada di Cakrapurastha, maka diperintahkanlah kakek itu pergi menemui raja sepeninggalnya dia pergi untuk melanjutkan perjalanannya. Mendengar nasihat itu kakek menjadi lebih tenang.
Dalam perjalanan Prabu dan Patih ini tidak pernah lupa untuk bersyukur kepada Dewata Agung. Tak jauh dari jalan yang mereka telusuri ada sebuah perkampungan, namun tandus, hampir tak ada tanaman apapun yang ada hanya rumah jauh yang terpencil yang layak disebut gubuk. Semakin dekat semakin keras kedengaran orang yang tertawa bahagia. Sri Paduka heran melihat tinkah anak muda tgap, gagah dengan alis tebal itu berikat pinggang daunt tal.
Sri Raja menanyakan apakah gerangan yang membuat dia begtu bisa tertawa terbahak-bahak sedangkan keadannya menderita dan sengsara tidak memiliki harta apapun. Jawaban pemuda itu sunnguh mencengangkan Sri Prabu dan adiknya, pemuda ini bahagia karena ia telah sampai pada puncak penderitaan, dimana semua hal yang dilakukannya tidak berujung kebaikan namun keburukan. Segala usaha dan jeri payahnya tak satupun yang berbuah hasil untuknya memiliki harta yang dia inginkan, sungguh malang nasib pemuda ini.
Pemuda ini sengaja mengurung diri dalam rumah dan menunggu kematian. Kematianlah yang ia tunggu, ia sangat bahagia dengan ketentuan yang dibuat Dewata Agung bahwa manusia akan mati. Disitulah manusia sesungguhnya hidup sehingga beban hidup di dunia ini dapat berakhir, dan kehidupan yang nyata akan dimulai setelah itu. Pemuda itu berdoa akgar dipendekan umurnya supaya dia tidak berlama-lama lagi menanggung kesengsaraan di dunia ini. Adapun bila kita hidup berlama-lama di dunia ini pasti akan membiarkan ketamakan dan keangkaramurkaan merajalela di bumi dan mengotori budi suci kita.
Pemuda itu menegaskan kepada Baginda apabila beliau hanya bertanya-tanya saja dan hanya berpura-pura hanya membuat malu saja. Raja terdiam beberapa lama, dan selalu mengucap syukur kepada Dewata Agung yang tak terhingga. Seperti inilah pertanda kerinduan makhluk kepada sang khalik.Dengan waktu terbatas, baginda mengurai masalah rumit yang indah itu. Ketika kesadarannya kembali, baginda menoleh kepada adiknya yaitu patih Bisakesa. Mereka beradu pandang. Ki Patih bisa memahami persoalan yang dimaksud baginda. Lalu ia mengangguk dan menundukkan kepala tanda bahwa sudah mengerti.
Sang raja gembira karena sang patih cepat tanggap dan dapat memahami persoalan yang dimaksudnya. Lalu sang raja memberikan nasihat kepada anak muda yang ia temui di tengah jalan itu supaya anak muda itu menemui rajanya sendiri yakni Prabu Bisaka di Cakrapurastha untuk meminta tolong supaya membantu anak muda itu untuk meraih cita-citanya. Anak muda itu bernama Senanirmala dan perkampungan yang dilalui sang raja bernama Rejamulya. Lalu mereka berdua saling bertukar sabuk masing-masing. Sang raja menerima sabuk rotan dan Senanirmala menerima sabuk cindai. Sabuk cindai itu nantinya akan dipesembahkan kepada Prabu Bisaka. Sesudah itu mereka berdua berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.

v KINANTHI

Sambil berjalan kedua pimpinan negeri Cakrapurastha itu membicarakan tentang ketatanegaraan, masalah masyarakat, cara menanam benih dan masalah perjodohan hingga kemudian baginda melihat ada dua orang yang beradu mulut. Hanya karena permasalahan cara menanam biji kelapa yang sepele itu mereka berdua hampir bertarung sampai mati salah satunya. Lalu baginda menghampiri mereka berdua dan menanyakan sebab-musabab mereka bertengkar.
Setelah mengetahui duduk perkaranya, baginda memberikan nasihatnya kepada kedua bersaudara itu yakni Palyakrama dan Silyakrama yang berasal dari desa Kejodhan supaya mereka pergi menghadap raja Cakrapurastha untuk meminta nasihatnya dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Baginda merasa kagum dengan kedua orang itu, walaupun mereka berdua bodoh dan tidak berpendidikan tetapi mereka berbudi baik, berhati mulia, dan bersifat perwira. Setelah berpisah dengan kedua orang itu, baginda dan Patihnya melanjutkan perjalanan mereka ke Negara Dwarawati.
Di suatu pertapaan di sebuah gunung, pada suatu hari Sang Bagawan Yogiyasa bersantai bersama puterinya yakni Dyah Yogawati serta cucunya yakni Bambang Dwihastha. Sang Bagawan sangat menyayangi cucunya yang tampan, pandai, dan baik budi pekertinya itu. Dengan cepat Dwihastha mempelajari semua ilmu yang diajarkan oleh Sang Bagawan melebihi kaepandaian anak-anak seumurannya. Melihat segala keahlian cucunya Bagawan merasa bahagia. Walaupun Dwihastha itu sangat pandai tapi ia tetap rendah hati dan lemah lembut layaknya semua keturunan Sang Bagawan.
Dibalik itu semua Sang Bagawan merasa sedih karena ia harus menyembunyikan jati diri dan keberadaan ayah kandung Dwihastha. Tetapi Sang Bagawan menyadari bahwa suatu saat Dwihastha akan mengetahui ayah kandungnya dengan sendirinya.
Dengan kesadaran itulah ia menyingkirkan  pamrih pribadi, membuka rahasia cucunya bahwa Bambang Dwihastha itu adalah putra Raden Harjuna dan ksatrian Madukara dalam lingkungan kerajaan Amarta. Raden Arjuna termasuk dalam Pandawa, yaitu Pandawa yang lima. Prabu Yudistira (raja Amarta) adalah yang tertua. Kemudian Bima atau Wrekodara, ayah Gatotkaca. Yang ketiga, Arjuna, ayahnya. Kedua yang lain ialah si kembar, Nakula dan Sadewa.
Dwihastha sangat senang mendengar itu semua. Ternyata ia masih memiliki darah ksatria lima. Oleh karena itu, ia sangat ingin bertemu ayahnya. Ia sadar ia harus dapat memenuhi dan menyelesaikan kewajiban yang diserahkan kepadanya, nanti.

v SINOM

Perjalanan Bambang Dwihastha dengan ketiga pembantunya, yaitu Semar, Gareng dan Petruk semakin jauh. Sepanjang jalan ketiganya selalu bersenandung merdu, menyanyikan tembang macapat maupun tembang gedhe yang menceritakan tentang almarhum Resi Dwihastha. Ikatan syairnya menarik dan banyak mengandung nasehat. Karena senang, Bambang Dwihastha memberikan hadiah cincin permata dan benda-benda berharga lainnya kepada Petruk. Namun, Petruk menolaknya dengan sopan dan sedikit gurauan bahwa yang saat ini dibutuhkannya adalah makanan.
Bambang Dwihastha mengatakan bahwa apa yang diinginkannya sebentar lagi akan terwujud. Tak lama kemudian tampaklah iring-iringan mewah dating menghampiri mereka. Ialah Ki Bratakasmala dengan pakaian serba gemerlap, sedangkan para pengiringnya membawa banyak emas berlian dan makanan enak. Dengan hormat ia menghaturkan sembah pada Bambang yang amat tampan. Lalu, ia ceritakan tujuan perjalanannya ini untuk menghadap Prabu Bisaka meminta agar dia terhindar dari kematian.
Dengan rasa kasihan yang berlebihan, Bambang Dwihastha berdoa kepada Tuhan agar keinginan kakek itu terkabul. Lalu sang ksatria membenarkan ucapan Ki Bratakasmala dan menasehati agar selayaknya ia menuruti segala perintah raja Cakrapurastha. Ki Bratakasmala sangat senang hatinya mendengar ucapan Bambang, kemudian menyuruh para pengawalnya untuk memberikan banyak makanan kepada Bambang Dwihastha dan ketiga abdinya.
Setelah pemberian diterima, Ki Bratakasmala melanjutkan perjalanan kembali. Betapa senang para punakawan mendapat makanan yang enak-enak itu.
Perjalanan belum seberapa jauh saat mereka bertemu dengan sosok tinggi gagah yang kelihatan seperti preman. Ialah Senanirmala, yang lalu menghampiri Bambang Dwihastha dan menghaturkan hormat yang sebesar-besarnya. Ia pun juga menceritakan secara jujur tentang dirinya seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Bambang membenarkan ucapannya, kemudian menyuruh Senanirmala untuk menjaga Ki Bratakasmala yang hendak dibunuh oleh para pengiringnya sendiri karena menginginkan harta bendanya. Jika kakek pikun itu selamat sampai tujuan, maka Senanirmala akan mendapat anugerah Tuhan agar umurnya dipendekkan. Senanirmala menuruti ucapan Bambang dan bergegas mengejar rombongan Ki Bratakasmala.
Dalam perjalanan berikutnya, Bambang Dwihastha bertemu dengan dua orang yang memikul kelapa bertunas. Merekalah Ki Palyakrama dan Silyakrama. Mereka pun terpesona dengan ketampanan ksatria utama, lalu menceritakan keadaan dirinya dari awal sampai akhir. Bambang Dwihastha menasehati agar mereka mempersembahkan emas permata kepada sang raja. Namun, mereka tak punya apa-apa. Lalu Bambang mengatakan bahwa nanti di jalan, mereka akan menemukan emas permata berserakan, supaya diambil dan dipersembahkan pada raja. Kemudian bekas harta tersebut agar ditanami kelapa yang dibawanya itu. Kedua orang itu tidak membantah, melaksankannya dengan baik.
Beberapa lama berjalan, Bambang Dwihastha bertemu dengan Prabu Bisaka dan Patih Bisakesa, adiknya. Maka, terjadilah perbincangan antara mereka. Ternyata guru Prabu Bisaka, almarhum Resi Dwihastha adalah sahabat baik Resi Yogiyasa, kakek Bambang. Kemudian sang Prabu menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Berawal dari pinangan Prabu Gajah Marapah dan Patih Naga Banda kepada Bisawati dan Bisakesi, kemudian terjadi penyerangan tak terduga dari kerajaan Prabu Gajah Marapah yang bala tentaranya berwujud raksasa dan hewan-hewan buas, sampai pada larinya Prabu Bisaka beserta Patih Bisakesa ke hutan belantara dan akhirnya bertemu dengan Bambang Dwihastha saat ini.
Prabu Bisaka meminta Bambang Dwihastha bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju Dwarawati, menemui Prabu Kresna untuk meminta bantuan. Barangkali, ayahanda Bambang, yaitu Raden Arjuna juga sedang berada di sana. Dengan haru, Bambang pun menyanggupi permintaan raja Cakrapurastha tersebut.
            Sedang asyik-asyiknya berbincang, tiba-tiba suara gemuruh pun beradu dengan suara hewan-hewan buas. Tak lain, mereka adalah bala tentara suruhan Prabu Gajah Marapah. Bambang pun segera menyuruh Prabu Bisaka dan Patih Bisakesa bersembunyi bersama Semar di tempat yang aman.
Pertarungan antara Bambang Dwihastha dengan para raksasa pun terjadi. Namun, ketangkasan sang ksatria sangatlah unggul. Dalam waktu yang sekejap saja, ketiga raksasa telah tewas. Tinggal Pancakmuka seorang beserta prajurit-prajuritnya. Dengan sekali panah, raksasa itupun mati. Dan larilah prajurit-prajurit itu dengan ketakutan.
Menanglah sang Bambang dan dielu-elukan oleh Prabu Bisaka. Tak lupa mereka memanjatkan syukur pada Dewata.

v DHANDHANGGULA

Mereka lalu melanjutkan perjalanan bersama-sama menuju Dwarawati. Pada suatu hari di Dwarawati, Prabu Kresna sedang mengadakan pesta besar sebagai ucapan syukur karena beliau telah menyelesaikan tugas besar yaitu bertapa brata di Gunung Giri Waluya demi keunggulan Pandawa dalam perang Baratayuda nanti.
Pada waktu itulah, siding dikejutkan dengan kedatangan enam orang, yaitu Prabu Bisaka, Patih Bisakesa, Bambang Dwihastha dan ketiga punakawan yang sudah tidak asing lagi bagi mereka. Prabu Kresna dengan ramah menerima mereka. Dengan begitu hormat, Prabu Bisaka menyampaikan maksud tujuannya datang ke Dwarawati dan menceritakan semua kejadian yang dialaminya.
Mendengar cerita sang raja Cakrapurastha, Prabu Kresna dan semua yang ada pun tersentuh hatinya dan merasa sangat kasihan. Lalu mereka bertekad untuk membantu Prabu Bisaka melawan angkara murka Gajah Marapah dan menyelamatkan kedua putri yang tertinggal di keraton.
Sementara itu Prabu Kresna masih menanyakan beberapa hal tentang Bambang Dwihastha. Demikian juga dengan Arjuna, setelah mengetahui bahwa Bambang adalah putranya, dipeluklah ia dengan rasa haru sambil memberikan petuah-petuah tentang jiwa ksatria. Setelah persiapan dilakukan, berangkatlah bala tentara Dwarawati ke Cakrapurastha.
Di negeri Cakrapurastha, Kidang Matandang dengan licik mempengaruhi Naga Banda agar membunuh Gajah Marapah dengan cara sehalus-halusnya. Dengan segala tipu muslihatnya, Naga Banda pun terperdaya juga. Mereka pun berangkat ke istana melancarkan aksinya.
Dengan hormat yang tak menampakkan kecurigaan, Kidang Matandang menghadap Gajah Marapah dengan dalih menemukan akal agar sang gajah bisa bermesraan dengan putri Bisawati, dengan syarat sang gajah harus memakai pakaian indah dan berhias agar tampan. Gajah Marapah pun memanggil seorang ahli lukis. Selesai berhias, Kidang Matandang meminta agar sang gajah bercermin di sumur Bandung di tengah taman, yang airnya sangat jernih. Gajah Marapah pun menurut, diikuti oleh kedua patihnya. Saat bercermin dan membalikkan badannya, sang gajah kehilangan keseimbangan.

v DURMA

Gajah Marapah pun tercebur ke dalam sumur. Tanpa berpikir lama, Naga Banda pun ikut terjun ke dalam sumur mengeluarkan bisanya. Sang gajah baru menyadari kalau dirinya telah ditipu. Lalu terjadilah perkelahian antara keduanya. Sampai akhirnya mereka berdua mati di dalam sumur. Mengetahui hal ini, Kidang Matandang sangat senang hatinya karena rencananya berhasil, dan dia akan mendapatkan kedua putri Cakrapurastha tersebut. Ketika melangkah melewati sumur, sang kijang tidak sengaja menghirup bisa Naga Banda yang mematikan. Ia pun terkulai lemas dan jatuh ke dalam sumur. Ketiganya mati membusuk di dalam sumur Bandung. Para dewa lalu menurunkan hujan agar bisa naga itu segera hilang.
Saat itu, bala tentara Dwarawati datang menyerbu. Mereka berperang dengan hebat untuk memusnahkan angkara murka di bumi. Sampai akhirnya semua bala tentara Sang Gajah telah musnah semua. Selesai sudah pertempuran itu. Dipukullah genderang tanda usainya pertempuran itu.
Prabu Bisaka mempersilakan Prabu Kresna dan segenap pimpinan pasukan duduk di anjungan kehormatan. Mereka sangat bahagia dan bersyukur telah berhasil memenangkan pertandingan. Namun, mereka heran karena Gajah Marapah beserta kedua patihnya tidak kelihatan sama sekali. Lalu terdengar kabar dari dayang-dayang bahwa ketiganya mati di dalam sumur Bandung. Prabu Kresna sangat kagum dan terkejut mendengarnya, lalu meminta agar Bisawati dan Bisakesi menceritakan semua kejadian yang telah mereka alami.
Melihat kedua putri itu, Raden Abimanyu dan Bambang Irawan berdebar-debar hatinya berhasrat agar dijodohkan dengan mereka. Namun, kedua putri tidak tahu, justru Bambang Dwihastha lah yang terlihat tak sengaja oleh kedua putri yang sepertinya telah jatuh hati padanya.
Pasewakan dikejutkan dengan datangnya empat orang yang berjalan terseok-seok menghadap sang raja. Mereka adalah Ki Bratakasmala, Senanirmala, Palyakrama dan Silyakrama.

v GAMBUH

Prabu Kresna menanyakan asal-usul keempat orang tersebut lalu diminta menceritakan bagaimana mereka sampai di sini. Maka, berceritalah secara bergantian, mulai dari Ki Bratakasmala, yang ingin terhindar dari kematian. Setelah bertemu dengan pemuda tampan, ia hampir mati dibunuh oleh para pengiringnya, namun kemudian dia ditolong oleh Senanirmala dan melanjutkan perjalanan sampai sini.
Senanirmala, yang ingin umurnya dipendekkan juga bercerita bahwa dia bertemu dengan pemuda tampan yang menyuruhnya agar menjaga Ki Brataksmala selamat sampai tujuan tak kurang satu apapun.
Giliran Palyakrama dan Silyakrama yang bercerita. Mereka juga bertemu dengan pemuda tampan yang mengatakan bahwa nanti mereka akan menemukan emas permata di jalan, dan supaya emas itu dipersembahkan pada raja. Bekas emas tersebut lalu ditanami kelapa yang telah bertunas. Ternyata emas permata itu adalah milik Ki Bratakasmala tadi.
Mendengar cerita keempat orang tersebut, Prabu Kresna memberikan nasehat kepada mereka mengenai hidup dan mati. Lalu, diperintahkanlah Prabu Bisaka agar mengangkat mereka menjadi punggawa keraton. Ki Bratakasmala diserahi pekerjaan merawat harta benda. Senanirmala diserahi pekerjaan menjadi panglima perang. Sedangkan Palyakrama dan Silyakrama diserahi tugas untuk mengurus segala keperluan istana termasuk makanan.
Dengan senang hati, Prabu Bisaka menyanggupinya. Masih ada satu lagi perkara yang erat kaitannya dengan kejadian ini. Sepertinya ini semua adalah perjodohan sejati. Prabu Kresna menyarankan agar Bisawati dan Bisakesi dijodohkan dengan Bambang Dwihastha. Prabu Bisaka pun dengan senang hati menerimanya. Semua turut berbahagia. Sebagai ucapan syukur maka diadakanlah pesta besar tanda kemenangan, juga pesta perkawinan agung. Janji kedua putri pun terlaksana. Dua orang putri menikah dengan seorang pria.
Selesai acara, pasukan Dwarawati pun kembali ke asalnya dengan penuh suka cita.
                                                                                                           
B.     PENELAAHAN CERITA BAMBANG DWIHASTHA

1.             Jangan memaksakan kehendak dan nafsu kita, semua harus dipikir secara matang agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan
2.             Sifat seorang putri utama, sesuatu yang diucapkan dan diinginkannya, haruslah terwujud. Kalau tidak, ia akan memilih untuk bunuh diri saja
3.             Pasrah kepada Tuhan, karena sebagai makhluk ciptaanNya, kita harus berlaku sesuai kehendak pencipta yang tidak dapat dihindari seperti jodoh dan kematian. Dengan berserah diri pada Tuhan, kita akan merasa tenang
4.             Seorang patih, perdana menteri, punggawa tertinggi, kawula raja haruslah bersifat bijaksana dan memahami masalah yang benar dan yang salah, juga memahami hal yang baik dan yang buruk
5.             Seseorang yang mengabdikan diri pada raja harus setia, berserah diri dan siap sedia melaksanakan segala perintahnya.
6.             Pengabdian yang sebaik-baiknya adalah dengan ketetapan hati, tak membantah perintah, tidak menoleh kanan maupun kiri menyeleweng dari arah tujuan, berkemauan besar menyejahterakan rakyatnya, mengetahui situasi dan memahami keadaan
7.             Janganlah menggunting dalam lipatan dan menjadi musuh di dalam selimut
8.             Angkara murka harus dienyahkan dari muka bumi
9.             Jalan terbaik yang dianjurkan dalam menyelesaikan masalah adalah kompromi
10.         Selalu berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan atas segala yang didapatkannya
11.         Semua yang hidup pasti akan mati. Kematian itu mutlak. Harta benda pun tak dibawa mati, namun hanya amallah yang menemani. Tak ada gunanya terlalu mencintai harta sampai-sampai kesehatan jasmani dan rohani tidak terjaga.

12.         Hidup tak selamanya bahagia dan beruntung. Bahkan ada orang yang semasa hidupnya sengsara, namun ia mencoba untuk tetap tersenyum, karena ada keyakinan bahwa tak selamanya ia hidup di dunia yang penuh derita. Sehingga ia begitu berhasrat menemui kematian
13.         Ada kalanya mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain. Jangan mau menang sendiri dan tetap berpegang teguh pada pendirian yang belum tentu benar.
14.         Sifat perwira, dengan tekad mempertahankan dan mencapai arah tujuan mereka sampai darah penghabisan
15.         Hiduplah rukun karena ada pepatah : bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh
16.         Sudah menjadi takdir dan kepastian bahwa buah yang menjadi benih akan tumbuh dengan meninggalkan batang induknya. Ada saatnya seorang anak pergi meninggalkan ibunya atau orang tuanya demi tugas mulia
17.         Kewajiban pemuda adalah berbakti kepada yang tua, lebih-lebih kepada orang tua dan juga pembangunan bangsa dan Negara
18.         Jangan gentar menghadapi tugas-tugas yang diberikan dan laksanakan dengan sebaik-baiknya
19.         Nasihat yang tergubah dengan perlambang syair-syair tembang akan lebih mudah dipahami dan dimengerti
20.         Orang yang tamak hanya akan menambah beban, membuat hina dan kotor diri sendiri, yang akan dicadangkan masuk ke neraka
21.         Patuhlah kepada atasanmu karena kesetiaan, jangan hanya karena mengharapkan upah dan makanan enak
22.         Umur yang sudah tua tak selayaknya disia-siakan, sebaiknya ada usaha kea rah ketinggian budi yang dapat menyibakkan jalan kepada hakikat tujuan hidup asal mulanya

23.         Kebodohan menjadi racun kehidupan tanpa akhir yang menyebabkan derita dan sengsara tak hanya pada jasmani tapi juga pada rohani
24.         Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka terpenuhilah keinginannya
25.         Orang yang meminta tolong agar mendapat keputusan yang seadil-adilnya untuk mempertimbangkan suatu perkara dan menempatkannya pada kedudukan yang sebenar-benarnya, layaklah membawa hadiah atau persembahan sebagai ucpan terimakasih
26.         Hidup selalu berputar. Tak selamanya kita menjadi orang kaya ataupun miskin. Ada saatnya kita bisa merasakan keadaan yang sebaliknya
27.         Cobaan datang sebagai ujian agar kita terus mendekatkan diri pada Tuhan
28.         Sesulit apapun masalah itu pasti ada jalan
29.         Pemuda berjiwa ksatria utama, berkepala dingin menghadapi musuhnya, selalu membesarkan hati musuh, berbuat seakan-akan kehabisan akal. Namun sebenarnya tak pernah mengabaikan kecakapan dan kesaktiannya
30.         Dalam pesta sebagai ucapan syukur atas karunia Tuhan, bersedekahlah pada fakir miskin, agar mereka dapat ikut merasakan kegembiraan bersyukur itu
31.         Hakekat segala bantuan adalah tulus ikhlas, tak perlu terucapkan dari mulut
32.         Darma ksatria dengan rela hati menolong kesulitan orang lain, menegakkan tiang kesejahteraan umat, ikhlas berkorban demi sesame, berbudi bahasa yang baik, dan bijaksana dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah
33.         Orang yang tak berakal budi, tidak dapat berpikir lain, kepalanya kosong dan bebal, hanya percaya pada kata-kata rekannya, sehingga mudah terperdaya
34.         Kejahatan pasti akan musnah
35.         Harta benda yang diperoleh dengan jalan yang salah tidak akan membawa berkah, malah membawa keburukan
36.         Kehidupan diliputi oleh rasa karena adanya 4 macam, yaitu enak, kepenak, lara dan mati
37.    Jika mendambakan hidup selama-lamanya, hayatilah kematian dalam hidupmu (mati jroning urip) dengan cara melenyapkan ketiga macam keinginan itu yang dapat dilatih dengan cara memutus tali kasih saying yang dapat membangkitkan rasa
38.         Fenomena kegaiban antara senang, sedih, sehat dan sakit masih terbuka dan berubah bergantian
39.    Pertemuan jodoh yang diikat dalam sebuah perkawinan bagai asam di gunung dan garam di laut. Bagaimanapun jauhnya, akan bertemu di belanga. Masalah jodoh telah diatur berpadanan, sesungguhnya sangat berdekatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar