Jumat, 09 Maret 2012

MAHESA LAWUNG


MAHESA LAWUNG

A.      DESKRIPSI

Mahesa Lawung merupakan sebuah upacara sakral yang digelar setahun sekali oleh Keraton Surakarta di Alas Krendawahana. Sebuah hutan yang sampai sekarang masih terkenal dengan keangkerannya. Karena dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati (Durga). Ritual ini biasanya digelar sekitar 40 hari pasca upacara Garebeg Mulud atau puncak perayaan Sekaten. Pelaksanaan Sesaji Mahesa Lawung sudah menjadi ketetapan atau agenda pokok tentang peringatan upacara tradisi dari Keraton Surakarta. Pemilihan harinya selalu jatuh pada hari Senin atau Kamis.
Perlengkapan sesaji di antaranya kepala Mahesa Lawung  (kerbau yang masih perjaka dan belum pernah dipekerjakan) beserta empat telapak kakinya, walang atogo (berbagai jenis belalang) sebagai simbol rakyat kecil. Juga sesaji lain yang terdiri atas barang mentah dan matang yang kesemuanya menyimbolkan makna-makna tertentu. Para abdi dalem keraton memakai pakaian seragam, baju beskap putih, blangkon dan kain batik berwarna cokelat muda. Selembar samir berwarna kuning emas berbingkai merah melingkar di leher.
Sesaji Mahesa Lawung bukan sekadar persembahan ulam-ulaman (berbagai jenis daging hewan) yang dilengkapi dengan kepala kerbau dan ubarampe sesaji lain. Lebih dari itu, sesaji ini dimaksudkan juga sebagai wilujengan nagari. Yakni untuk mencari kesejahteraan dan keselamatan bagi bangsa dan negara. Termasuk di dalamnya atau secara khusus adalah Keraton Surakarta yang menggelar sesaji tersebut.
Alas Krenda Wahana dipilih sebagai tempat untuk mengubur kepala kerbau sebagai sesaji. Karena menurut sejarahnya lokasi tersebut merupakan salah satu tempat favorit raja-raja Keraton Surakarta untuk mengasah ketajaman mata batin dan mencari ketenangan hidup. Dulunya kerap dipakai sebagai tempat pertemuan antara Paku Buwono VI dan Pangeran Diponegoro untuk membicarakan gerakan dan perlawanan terhadap Belanda. Pembicaraan di antara dua tokoh yang memiliki pengaruh besar itu biasa.dilakukan di sebuah tempat bernama Selo Gilang yang berarti batu mengilap. Letaknya sekitar 10 meter di arah belakang pohon grasak, tempat sesajen dihaturkan.
Tempat ini sering pula menjadi tempat merenung para raja ketika menghadapi masalah pemerintahan. Terutama yang berkaitan dengan perilaku rakyatnya. Keberadaan situs di tengah Hutan Krendowahono yang masih terpelihara keasliannya ini memang memiliki keterkaitan cukup erat dengan semangat kebangsaan. Tempat yang dipercaya sebagai petila-san tokoh wanita bernama Eyang Betari.

B.       SESAJI
Dalam ritual Mahesa Lawung sesaji yang digunakan diantaranya :
1.      ayam panggang
2.      kelapa muda
3.      pisang
4.      nasi putih
5.      bunga tujuh rupa
6.      bunga matahari yang dibentuk, menyerupai orang
7.      kepala kerbau yang masih dibungkus kain putih, (kerbau yang masih perjaka dan belum pernah dipekerjakan) beserta empat telapak kakinya
8.      walang atogo (berbagai jenis belalang) sebagai simbol rakyat kecil
9.      Juga sesaji lain yang terdiri atas barang mentah dan matang yang kesemuanya menyimbolkan makna-makna tertentu

C.      PROSESI/ TATA CARA RITUAL MAHESA LAWUNG
Prosesi Upacara Adat Mahesa Lawung :

a.    Di Keraton
1.    Prosesi ritual ditandai dengan keluarnya berbagai sesaji (Ada ayam panggang, nasi putih, pisang, kelapa muda, kepala kerbau, bunga tujuh rupa serta bunga matahari yang dibentuk, menyerupai orang) dari Dalem Gondorasan (dapur keraton) sekitar pukul 09.00.

2.    Macam-macam sesaji diletakkan di sitihinggil, diatas meja panjang yang dikelilingi oleh para adbi dalem, kemudian dipanjatkan doa selama kurang lebih 30 menit.
3.    Semua sesaji dan kepala kerbau yang ditutup kain putihpun dibawa bersama rombongan ke Alas Krenda Wahana. yang terletak di Desa Krendawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar atau sekitar 20 km dari Keraton Surakarta.


b.    Di Alas Krendhawahana
1.    Sesampai di Alas Krendawahana, sesaji Mahesa Lawung beserta ubarampe-nya lantas diletakkan di tempat khusus. Yakni di sebuah punden yang letaknya di bawah pohon beringin putih yang cukup besar. Punden tersebut tiada lain yang selama ini diyakini tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati, pelindung gaib keraton di bagian utara.
2.    Prosesi ritual diawali dengan penyampaian maksud dan tujuan ritual. Dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh KRT Pudjodiningrat, bertindak sebagai pemimpin, yang lain menyambut lantunan doa dengan kata rahayu
3.    Usai ritual doa dan pembacaan mantra-mantra sakti, dilanjutkan memendam kepala kerbau dan sesaji yang terdiri atas barang-barang mentah lain di sekitar punden. Sebagai tumbal untuk mencari keselamatan dan kesejahteraan sebagaimana yang diharapkan.
4.    Setelah itu dibacakannya sejarah mengenai mahesa lawung
5.    Sesaji yang terdiri atas barang-barang matang, seperti nasi uduk, gudangan, jajan pasar, dan lainnya dibagikan kepada para pengunjung yang hadir dalam upacara itu. Ada kepercayaan, barang siapa bisa mendapatkan atau memakan barang-barang yang digunakan untuk sesaji itu, apa yang diinginkan kemungkinan besar akan terkabul.

D.      PEMBAHASAN
1.      Mitos
Ritual Mahesa Lawung ini dilaksanakan dengan banyak mitos yang terdapat didalamnya, salah satu mitosnya adalah Mahesa Lawung bertujuan untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan YME, namun ritual Mahesa Lawung tahun ini mengkhususkan doa untuk kesejahteraan Keraton Kasunanan Surakarta serta bangsa Indonesia, khususnya memanjatkan doa agar tidak terjadi bencana-bencana lagi di tanah air, seperti yang santer diberitakan bahwa acara tersebut bertujuan untuk mengantisipasi agar Gunung Merapi tidak mengamuk lagi. Selain itu bertujuan untuk sebagai terapi kepanikan masyarakat agar tidak terjadi disorientasi serta terjadinya korban jiwa. Sesuai dengan panduan jawa tentang mitos dari Mahesa Suro, Mahesa Lawung, Rojo Sonyo yang inti dasarnya untuk kekuatan bagaimana mengontrol sipenguasa alam gunung atau alam apapun. Selain itu bila dikait-kaitkan dengan 26 Oktober yang terjadi beberapa tahun yang lalu tentang bencana Sunami, Gempa Jogja, itu semua adalah tileman dimana disaat tanggal tersebut adalah tanggal tua yang bahwa matahari saat itu dekat dengan bumi sehingga inti bumi bergerak kencang dan pergerakannya masalah air. Tileman itu ada 2 yaitu tileman sesuai dengan kalender jawa dan kalender modern, sehingga menurut garis imajiner, adalah simbol daripada Memayu Hayuning Bawono yang dapat diperkuat lagi dengan Manunggaling Kawulo Gusti yaitu konsep pengabdian, keloyalan, dedikasi, perjuangan.

2.      Magis
Dipilihnya Krendha Wahana sebagai tempat dilaksanakannya ritual mahesa Lawung karena keangkeran serta kesakralan ritual disana. Perihal kekeramatan dan keangkeran punden Bathari Durga ini tidak cuma diakui masyarakat sekitar, melainkan kerabat keraton Surakarta pun menganggap demikian. Hal itu dibuktikan dengan diadakannya gelar ritual sesaji Mahesa Lawung yang diadakan setiap tahun sekali.
Keangkeran punden Bathari Durga bukan menjadi rahasia umum lagi. Sudah banyak yang mengalami kejadian-kejadian ganjil selama melakukan ritual tempat keramat ini. Kemunculan wanita cantik yang diyakini sebagai jelamaan penunggu setempat, yakni Bathari Durga sering kali diketahui orang yang melakukan tirakat pada tengah malam. Kemunculan biasanya diikuti dengan penampakan binatang buas yang menyeramkan. Namun karena keberadaannya memedi itu ada di alam gaib, pengunjung menganggap hal yang biasa. Justu bila takut akan menjadi boomerang bagi diri sendiri. Penampakkan itu akan selalu membayang-bayangi sepanjang hidupnya.
Orang yang punya rasa takut akan kemunculan hal gaib di punden Bathari Durga kemungkinan karena mempunyai niat tidak baik. Sewaktu menjalani ritual hati dan fisiknya tidak bersih sehingga mudah tergoda ‘barang’ halus yang dijumpai di tempat sunyi sepi tersebut. Seharusnya sebelum menjalani ritual pengunjung lebih dulu mandi sesuci di sendang Sihna. Tujuan membersihkan diri itu juga untuk membuang hawa kotor yang masih mengendap dalam hati. Kalau sudah mantap ingin melakukan ritual, seluruh pikiran kotor semua harus dibuang jauh-jauh.
Menurut sejarahbelum pernah ada kejadian yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa gara-gara ketakutan melihat penampakkan penunggu gaib punden. Namun pernah ada penggunjung sampai gila karena tidak kuat menahan rasa ketakutannya. Jika sampai terjadi seperti itu (gila), berarti hatinya tidak tenang dan pikirannya kotor. Pelaku ritual tidak menuruti persyaratan, maka jangan salahkan jika dalam kegiatannya nanti akan banyak mengalami hambatan. Bahkan, gara-gara tidak mandi di sendang akibat yang didapati bisa fatal. Misalnya, kesurupan akibat tidak kuat menahan godaan lelembut penghuni punden. Ataupun mengalami kejadian yang tidak wajar. Seperti dibawa ke alam lelembut yang nggegirisi. Sedangkan, status Sendang Sihna sendiri sampai saat ini merupakan sebuah sendang yang sangat dikeramatkan oleh banyak kalangan. Karena itu, tidak boleh digunakan untuk tujuan sembarangan.
Sementara untuk meluluhkan penunggu punden dan menetralisir kekuatan gaib tidak baik, seminggu sekali juru kunci memberi sesajian yang dipersembahkan kepada penunggu punden Bathari Durga. Berupa kembang telon, bubur dan wedhang kopi. Sedangkan sesajian yang rutin diberikan keraton Surakarta berupa Mahesa Lawung. Selama ini tokoh lelembut yang hidup dalam alam pewayangan itu diyakini sebagai lelembut penganyom dan yang melindungi keraton Surakarta di bagian utara. Karena itu, kerabat keraton patut berterima kasih pada penunggu setempat.

3.      Religi
Dilihat dari segi agama apapun, memang adat Mahesa Lawung ini bisa dikatakan sedikit menyimpang, namun pada dasarnya tujuan dari diadakannya Mahesa Lawung adalah sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah member kehidupan dan juga memohon kepada Tuhan untuk keselamatan serta kesejahteraan Keraton Kasunanan Surakarta pada khususnya dan Negara Indonesia pada umumnya. Hal semacam inilah yang disebut dengan kepercayaan, para kerabat keraton dan juga abdi dalem masih setia menjalankan ritual ini, tidak berani meninggalkan adat daripada ritual ini karena mereka percaya bahwa memang ada kekuatan lain selain kekuatan manusia serta ritual ini sudah dilakukan secara terus-menerus dan turun-tenurun dari generasi ke generasi. Mereka juga menyakini bahwa aka nada sesuatu hal yang terjadi, mungkin musibah, bencana atau semacamnya yang akan datang dan mengancam ketentraman Negara jika ritual ini ditinggalkan begitu saja.
Kita bisa lihat dari uraian berikut, 15 kilometer ke arah utara Kota Solo ada Desa Krendhawahana yang pernah terletak di tengah-tengah hutan belantara tropis. Hutan itu bernama Gandamayu (Gandamayit - "bau mayat") dan diyakini menjadi wilayah kekuasaan kerajaan siluman, jagating lelembut, sebuah belantara kedhaton-nya Sanghyang Bathari Kalayuwati. Sekarang hutan itu sudah hilang dan hanya beberapa jenis species rerimbunan pohon langka, ini juga salah satu akibat dari ulah manusia dengan peradabannya yang makin modern tetapi moral akhlak dan akal budinya makin merosot. Dua kilometer di sebelah baratnya, dulu persis di pinggir hutan Gandamayu itu, letak pelosok Desa Kaliasa. Di Kaliasa pendatang-pendatang alim sejak ratusan tahun membangun kiblat rumah ibadah, mencoba menantang dan sekaligus menyedot kekuatan-kekuatan gaib hutan keramat itu. Sekarang Kaliasa adalah situs zero ground, untuk sebuah wilayah titik temu antara penghayat Kedjawen dengan kaum Patri-Monotheis. Situs itu ditandai dengan masih adanya makam-makam yang dirawat oleh sejumlah trah (kumpulan penghayat kemurnian makam-makam leluhur).
Komunitas Jawa selalu bersifat lokal (meski dengan cara pandang yang sedikit disesuaikan tentunya tidak akan mengurangi dan tidak merubah sedikitpun tentang identitasnya maka, sekarang seorang penghayat Kedjawen juga telah terlihat mampu dan mempunyai kemauan untuk berinteraksi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan aktif dalam komunikasi global). Dalam manifestasi keyakinannya mereka mewujudkan identitasnya dalam sebuah landscape spiritual yang ditentukan oleh tempat-tempat keramat dalam wilayahnya (pundèn, makam, pajimatan, sarean, petilasan). Mitos-mitos itu menjelaskan kepada orang Jawa perihal asal usul manusia dan sekaligus menjawab pertanyaan tentang mengapa manusia selalu terancam oleh kekuatan-kekuatan jahat sebab roh jahat itu muncul dari dalam diri kita dan mampu membunuh nurani serta akan selalu tetap tinggal di dalam hati setiap manusia dengan kekuatan merusak yang sangat dasyat, maka manusia Jawa sejak dahulu kala sudah mengenal budaya kontemplasi dan meditasi yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan atau perbaikan kualitas hidup agar menjadi lebih baik. Konsep Tuhan dan Iblis tidak terletak dalam simbo-simbol dan bentuk tetapi semuanya diyakini keberadaannya dalam tiap hati insan manusia dan akan tampak dalam buah tangan dari perbuatannya. Bumi pertiwi tempat manusia Jawa hidup juga adalah tempat yang cukup kontemplatif untuk mencari solusi bagaimana ia dapat berjuang untuk keselamatannya dan bertahan hidup hingga akhir hayatnya. Hidup damai diantara kekuatan alam di bumi Jawa, tanah airnya.
Alam spiritual orang Jawa juga ditentukan oleh kepercayaan "Pajupat Kalima Pancer" bahwa setiap orang mempunyai empat "kakak-beradik" spiritual, yaitu kakang kawah (placenta) dan adhi ari-ari (cairan amniotik). Dibangunnya mitos-mitos ini juga penting untuk desa (village) maupun keraton (royal – court), sedangkan kedudukan istimewa keraton ditegaskan melalui mitos perkawinan raja-raja dinasti Mataram dengan Kandjeng Ratu Kencana Sari atau lebih dikenal dengan Kandjeng Ratu Kidul di arah mata angin selatan dan hubungan kekerabatan khususnya dengan Sanghyang Bathari Kalayuwati di arah mata angin utara, Kandjeng Sunan Lawu di arah mata angin timur, Eyang Merapi di arah mata angin barat.
Mereka sebenarnya menawarkan sebuah identitas baru bagi individu Jawa: identitas sebagai anggota "umat" yang berkumpul dalam tempat-tempat ibadah baru berbentuk bangunan buatan tangan manusia, sehingga individu bisa bersujud di hadapan "Tuhan"nya. Dengan demikian, bagi individu Jawa dibuka kemungkinan untuk lepas dari komunitasnya. Kini disekitar kita semua telah berubah sesuai dengan berkembang majunya zaman dari tradisional menuju modernisasi. Karakter orang Jawa jika berhadapan dengan dunia luar, ia memang akan mempresentasikan diri sebagai orang yang beragama. Akan tetapi, pengertian dirinya "ke dalam" tetap berakar dalam geografi spiritual asalnya. Sampai hari ini masyarakat Jawa, meskipun menyatakan agamis sekalipun, merupakan "masyarakat pasca-tradisional yang tradisi-tradisi Kedjawen-nya menolak untuk dihilangkan".
Masyarakat berkepribadian Jawa yang menyatakan agamis, tetapi "Keagamaan" Jawa-nya bersifat multi-lapis, multi-tafsir dan multi-wajah. Mereka tetaplah seorang yang Jawa, meski terlahir dari hasil senggama antara daging dan doktrin sekalipun darahnya tetap saja seorang Jawa. Karena evolusi masyarakat Jawa dalam perkembangannya selama ratusan tahun dan dalam perubahannya hingga sekarang tidak terhenti dan masih berproses untuk menentukan dan menuju identitas bangsa yang berkualitas. 


                                                                                    
Sumber :
Observasi/ pengamatan langsung di lapangan dalam prosesi Mahesa Lawung, (4 April 2011)
Gambar diambil dari dokumentasi pribadi.

1 komentar:

  1. Bismillah. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
    Mba Nura yang semoga Allah memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam iman dan islam.
    dikatakan bahwa : " sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan dan juga memohon kepada Tuhan untuk keselamatan serta kesejahteraan Keraton Kasunanan Surakarta pada khususnya dan Negara Indonesia pada umumnya". Kalimat inilah yang menutupi heketakat sebenarnya dari ritual ini. Sebuah kalimat yang biasa dilontarkan oleh musrikin qurais ketika diajak supaya islam mereka menolak yaitu bahwa mereka tidak menyembah berhala tetapi hanya bermaksud mendekatkan diri kepada Allah ( QS Az Zumar :3) masih banyak ucapan atau kegiatan yang menutupi kegiatan kesyirikan, seperti :
    1. Melestarikan budaya nenek moyang? ...Budaya yang mana dulu? sopan santun, bersih desa, gotong royong mabangun rumah? kalau ini OK tapi kalau budaya nyajeni..ritual ini dan itu..itu tradisi kesyirikan. kalau sudah islam harus berlepas diri dan tidak cawe- cawe
    2. Melestarikan budaya lokal
    3. Nguri- nguri kabudayan ( kalimat nomor 2 dan 3 di lihat konteknya dulu)
    4. Dalam acara ritual sesaji diucapkan ayat alqur'an.( ini hanya akal- akalan saja supaya terlihat islami )
    dibalik itu sebenarnya mereka sedang beribadah kepada selain Allah . Jadi bukan sedikit menyimpang dari islam tetapi sudah diluar islam. Apa indikasinya ini pertanyaannya :
    1. Bagaimana mungkin bersyukur dengan memendam kepala kerbau ? menyediakan sesaji ?
    2. Mengapa bersyukurnya bukan secara islam ? dll bisa dilihat melalui publikasi foto-fotonya
    3. Kalau ditanya mengapa diadakan, jawabannya " bersyukur kepada Allah". Coba sekali kali ditanya : Bagaimana kalau tidak diadakan ? pastibaru ketahuan dibalik itu semuanya.
    Alhamdulillah semoga Allah menghindarkan saya dan keturunan saya dari ritual seperti ini.

    BalasHapus