MAHESA
LAWUNG
A.
DESKRIPSI
Mahesa Lawung merupakan sebuah upacara sakral yang
digelar setahun sekali oleh Keraton Surakarta di Alas Krendawahana. Sebuah
hutan yang sampai sekarang masih terkenal dengan keangkerannya. Karena
dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati (Durga). Ritual ini
biasanya digelar sekitar 40 hari pasca upacara Garebeg Mulud atau puncak
perayaan Sekaten. Pelaksanaan Sesaji Mahesa Lawung sudah menjadi ketetapan atau
agenda pokok tentang peringatan upacara tradisi dari Keraton Surakarta.
Pemilihan harinya selalu jatuh pada hari Senin atau Kamis.
Perlengkapan sesaji di antaranya kepala Mahesa
Lawung (kerbau yang masih perjaka dan
belum pernah dipekerjakan) beserta empat telapak kakinya, walang atogo
(berbagai jenis belalang) sebagai simbol rakyat kecil. Juga sesaji lain yang
terdiri atas barang mentah dan matang yang kesemuanya menyimbolkan makna-makna
tertentu. Para abdi dalem keraton memakai pakaian seragam, baju beskap putih,
blangkon dan kain batik berwarna cokelat muda. Selembar samir berwarna kuning
emas berbingkai merah melingkar di leher.
Sesaji Mahesa Lawung bukan sekadar persembahan
ulam-ulaman (berbagai jenis daging hewan) yang dilengkapi dengan kepala kerbau
dan ubarampe sesaji lain. Lebih dari itu, sesaji ini dimaksudkan juga sebagai
wilujengan nagari. Yakni untuk mencari kesejahteraan dan keselamatan bagi
bangsa dan negara. Termasuk di dalamnya atau secara khusus adalah Keraton
Surakarta yang menggelar sesaji tersebut.
Alas Krenda Wahana dipilih sebagai tempat untuk
mengubur kepala kerbau sebagai sesaji. Karena menurut sejarahnya lokasi
tersebut merupakan salah satu tempat favorit raja-raja Keraton Surakarta untuk
mengasah ketajaman mata batin dan mencari ketenangan hidup. Dulunya kerap
dipakai sebagai tempat pertemuan antara Paku Buwono VI dan Pangeran Diponegoro
untuk membicarakan gerakan dan perlawanan terhadap Belanda. Pembicaraan di
antara dua tokoh yang memiliki pengaruh besar itu biasa.dilakukan di sebuah
tempat bernama Selo Gilang yang berarti batu mengilap. Letaknya sekitar 10
meter di arah belakang pohon grasak, tempat sesajen dihaturkan.
Tempat ini sering pula menjadi tempat merenung para
raja ketika menghadapi masalah pemerintahan. Terutama yang berkaitan dengan
perilaku rakyatnya. Keberadaan situs di tengah Hutan Krendowahono yang masih
terpelihara keasliannya ini memang memiliki keterkaitan cukup erat dengan
semangat kebangsaan. Tempat yang dipercaya sebagai petila-san tokoh wanita bernama
Eyang Betari.
B.
SESAJI
Dalam
ritual Mahesa Lawung sesaji yang digunakan diantaranya :
1. ayam
panggang
2. kelapa
muda
3. pisang
4. nasi
putih
5. bunga
tujuh rupa
6. bunga
matahari yang dibentuk, menyerupai orang
7.
kepala kerbau yang masih dibungkus
kain putih, (kerbau yang masih perjaka dan belum pernah
dipekerjakan) beserta empat telapak kakinya
8.
walang
atogo (berbagai jenis belalang) sebagai simbol rakyat kecil
9.
Juga
sesaji lain yang terdiri atas barang mentah dan matang yang kesemuanya
menyimbolkan makna-makna tertentu
C.
PROSESI/
TATA CARA RITUAL MAHESA LAWUNG
Prosesi
Upacara Adat Mahesa Lawung :
a. Di
Keraton
1. Prosesi
ritual ditandai dengan keluarnya berbagai sesaji (Ada ayam panggang, nasi
putih, pisang, kelapa muda, kepala kerbau, bunga tujuh rupa serta bunga
matahari yang dibentuk, menyerupai orang) dari Dalem Gondorasan (dapur keraton)
sekitar pukul 09.00.
2. Macam-macam
sesaji diletakkan di sitihinggil, diatas meja panjang yang dikelilingi oleh
para adbi dalem, kemudian dipanjatkan doa selama kurang lebih 30 menit.
3. Semua
sesaji dan kepala kerbau yang ditutup kain putihpun dibawa bersama rombongan ke
Alas Krenda Wahana. yang terletak di Desa Krendawahana, Kecamatan Gondangrejo,
Kabupaten Karanganyar atau sekitar 20 km dari Keraton Surakarta.
b. Di
Alas Krendhawahana
1. Sesampai
di Alas Krendawahana, sesaji Mahesa Lawung beserta ubarampe-nya lantas
diletakkan di tempat khusus. Yakni di sebuah punden yang letaknya di bawah
pohon beringin putih yang cukup besar. Punden tersebut tiada lain yang selama
ini diyakini tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati, pelindung gaib keraton di
bagian utara.
2. Prosesi
ritual diawali dengan penyampaian maksud dan tujuan ritual. Dilanjutkan dengan
pembacaan doa yang dipimpin oleh KRT Pudjodiningrat, bertindak sebagai
pemimpin, yang lain menyambut lantunan doa dengan kata rahayu
3. Usai
ritual doa dan pembacaan mantra-mantra sakti, dilanjutkan memendam kepala
kerbau dan sesaji yang terdiri atas barang-barang mentah lain di sekitar
punden. Sebagai tumbal untuk mencari keselamatan dan kesejahteraan sebagaimana
yang diharapkan.
4. Setelah
itu dibacakannya sejarah mengenai mahesa lawung
5. Sesaji
yang terdiri atas barang-barang matang, seperti nasi uduk, gudangan, jajan
pasar, dan lainnya dibagikan kepada para pengunjung yang hadir dalam upacara
itu. Ada kepercayaan, barang siapa bisa mendapatkan atau memakan barang-barang
yang digunakan untuk sesaji itu, apa yang diinginkan kemungkinan besar akan
terkabul.
D.
PEMBAHASAN
1.
Mitos
Ritual Mahesa
Lawung ini dilaksanakan dengan banyak mitos yang terdapat didalamnya, salah
satu mitosnya adalah Mahesa Lawung bertujuan untuk menyampaikan rasa syukur
kepada Tuhan YME, namun ritual Mahesa Lawung tahun ini mengkhususkan doa untuk
kesejahteraan Keraton Kasunanan Surakarta serta bangsa Indonesia, khususnya
memanjatkan doa agar tidak terjadi bencana-bencana lagi di tanah air, seperti
yang santer diberitakan bahwa acara tersebut bertujuan untuk mengantisipasi
agar Gunung Merapi tidak mengamuk lagi. Selain itu bertujuan untuk sebagai
terapi kepanikan masyarakat agar tidak terjadi disorientasi serta terjadinya
korban jiwa. Sesuai dengan panduan jawa tentang mitos dari Mahesa Suro, Mahesa
Lawung, Rojo Sonyo yang inti dasarnya untuk kekuatan bagaimana mengontrol
sipenguasa alam gunung atau alam apapun. Selain itu bila dikait-kaitkan dengan
26 Oktober yang terjadi beberapa tahun yang lalu tentang bencana Sunami, Gempa
Jogja, itu semua adalah tileman dimana disaat tanggal tersebut adalah tanggal
tua yang bahwa matahari saat itu dekat dengan bumi sehingga inti bumi bergerak
kencang dan pergerakannya masalah air. Tileman itu ada 2 yaitu tileman sesuai
dengan kalender jawa dan kalender modern, sehingga menurut garis imajiner,
adalah simbol daripada Memayu Hayuning Bawono yang dapat diperkuat lagi dengan
Manunggaling Kawulo Gusti yaitu konsep pengabdian, keloyalan, dedikasi,
perjuangan.
2.
Magis
Dipilihnya
Krendha Wahana sebagai tempat dilaksanakannya ritual mahesa Lawung karena
keangkeran serta kesakralan ritual disana. Perihal kekeramatan dan keangkeran
punden Bathari Durga ini tidak cuma diakui masyarakat sekitar, melainkan
kerabat keraton Surakarta pun menganggap demikian. Hal itu dibuktikan dengan
diadakannya gelar ritual sesaji Mahesa Lawung yang diadakan setiap tahun
sekali.
Keangkeran
punden Bathari Durga bukan menjadi rahasia umum lagi. Sudah banyak yang mengalami
kejadian-kejadian ganjil selama melakukan ritual tempat keramat ini. Kemunculan
wanita cantik yang diyakini sebagai jelamaan penunggu setempat, yakni Bathari
Durga sering kali diketahui orang yang melakukan tirakat pada tengah malam.
Kemunculan biasanya diikuti dengan penampakan binatang buas yang menyeramkan.
Namun karena keberadaannya memedi itu ada di alam gaib, pengunjung menganggap
hal yang biasa. Justu bila takut akan menjadi boomerang bagi diri sendiri.
Penampakkan itu akan selalu membayang-bayangi sepanjang hidupnya.
Orang yang punya
rasa takut akan kemunculan hal gaib di punden Bathari Durga kemungkinan karena
mempunyai niat tidak baik. Sewaktu menjalani ritual hati dan fisiknya tidak
bersih sehingga mudah tergoda ‘barang’ halus yang dijumpai di tempat sunyi sepi
tersebut. Seharusnya sebelum menjalani ritual pengunjung lebih dulu mandi
sesuci di sendang Sihna. Tujuan membersihkan diri itu juga untuk membuang hawa
kotor yang masih mengendap dalam hati. Kalau sudah mantap ingin melakukan
ritual, seluruh pikiran kotor semua harus dibuang jauh-jauh.
Menurut
sejarahbelum pernah ada kejadian yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa
gara-gara ketakutan melihat penampakkan penunggu gaib punden. Namun pernah ada
penggunjung sampai gila karena tidak kuat menahan rasa ketakutannya. Jika
sampai terjadi seperti itu (gila), berarti hatinya tidak tenang dan pikirannya
kotor. Pelaku ritual tidak menuruti persyaratan, maka jangan salahkan jika
dalam kegiatannya nanti akan banyak mengalami hambatan. Bahkan, gara-gara tidak
mandi di sendang akibat yang didapati bisa fatal. Misalnya, kesurupan akibat
tidak kuat menahan godaan lelembut penghuni punden. Ataupun mengalami kejadian
yang tidak wajar. Seperti dibawa ke alam lelembut yang nggegirisi. Sedangkan,
status Sendang Sihna sendiri sampai saat ini merupakan sebuah sendang yang
sangat dikeramatkan oleh banyak kalangan. Karena itu, tidak boleh digunakan
untuk tujuan sembarangan.
Sementara untuk
meluluhkan penunggu punden dan menetralisir kekuatan gaib tidak baik, seminggu
sekali juru kunci memberi sesajian yang dipersembahkan kepada penunggu punden
Bathari Durga. Berupa kembang telon, bubur dan wedhang kopi. Sedangkan sesajian
yang rutin diberikan keraton Surakarta berupa Mahesa Lawung. Selama ini tokoh
lelembut yang hidup dalam alam pewayangan itu diyakini sebagai lelembut
penganyom dan yang melindungi keraton Surakarta di bagian utara. Karena itu,
kerabat keraton patut berterima kasih pada penunggu setempat.
3.
Religi
Dilihat dari
segi agama apapun, memang adat Mahesa Lawung ini bisa dikatakan sedikit
menyimpang, namun pada dasarnya tujuan dari diadakannya Mahesa Lawung adalah
sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah member kehidupan dan juga
memohon kepada Tuhan untuk keselamatan serta kesejahteraan Keraton Kasunanan
Surakarta pada khususnya dan Negara Indonesia pada umumnya. Hal semacam inilah
yang disebut dengan kepercayaan, para kerabat keraton dan juga abdi dalem masih
setia menjalankan ritual ini, tidak berani meninggalkan adat daripada ritual
ini karena mereka percaya bahwa memang ada kekuatan lain selain kekuatan
manusia serta ritual ini sudah dilakukan secara terus-menerus dan turun-tenurun
dari generasi ke generasi. Mereka juga menyakini bahwa aka nada sesuatu hal
yang terjadi, mungkin musibah, bencana atau semacamnya yang akan datang dan
mengancam ketentraman Negara jika ritual ini ditinggalkan begitu saja.
Kita bisa lihat
dari uraian berikut, 15 kilometer ke arah utara Kota Solo ada Desa
Krendhawahana yang pernah terletak di tengah-tengah hutan belantara tropis.
Hutan itu bernama Gandamayu (Gandamayit - "bau mayat") dan diyakini
menjadi wilayah kekuasaan kerajaan siluman, jagating lelembut, sebuah belantara
kedhaton-nya Sanghyang Bathari Kalayuwati. Sekarang hutan itu sudah hilang dan
hanya beberapa jenis species rerimbunan pohon langka, ini juga salah satu
akibat dari ulah manusia dengan peradabannya yang makin modern tetapi moral
akhlak dan akal budinya makin merosot. Dua kilometer di sebelah baratnya, dulu
persis di pinggir hutan Gandamayu itu, letak pelosok Desa Kaliasa. Di Kaliasa
pendatang-pendatang alim sejak ratusan tahun membangun kiblat rumah ibadah,
mencoba menantang dan sekaligus menyedot kekuatan-kekuatan gaib hutan keramat
itu. Sekarang Kaliasa adalah situs zero ground, untuk sebuah wilayah titik temu
antara penghayat Kedjawen dengan kaum Patri-Monotheis. Situs itu ditandai
dengan masih adanya makam-makam yang dirawat oleh sejumlah trah (kumpulan
penghayat kemurnian makam-makam leluhur).
Komunitas Jawa
selalu bersifat lokal (meski dengan cara pandang yang sedikit disesuaikan
tentunya tidak akan mengurangi dan tidak merubah sedikitpun tentang
identitasnya maka, sekarang seorang penghayat Kedjawen juga telah terlihat
mampu dan mempunyai kemauan untuk berinteraksi dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi bahkan aktif dalam komunikasi global). Dalam manifestasi keyakinannya
mereka mewujudkan identitasnya dalam sebuah landscape spiritual yang ditentukan
oleh tempat-tempat keramat dalam wilayahnya (pundèn, makam, pajimatan, sarean,
petilasan). Mitos-mitos itu menjelaskan kepada orang Jawa perihal asal usul
manusia dan sekaligus menjawab pertanyaan tentang mengapa manusia selalu
terancam oleh kekuatan-kekuatan jahat sebab roh jahat itu muncul dari dalam
diri kita dan mampu membunuh nurani serta akan selalu tetap tinggal di dalam
hati setiap manusia dengan kekuatan merusak yang sangat dasyat, maka manusia
Jawa sejak dahulu kala sudah mengenal budaya kontemplasi dan meditasi yang
tinggi untuk mencapai kesempurnaan atau perbaikan kualitas hidup agar menjadi
lebih baik. Konsep Tuhan dan Iblis tidak terletak dalam simbo-simbol dan bentuk
tetapi semuanya diyakini keberadaannya dalam tiap hati insan manusia dan akan
tampak dalam buah tangan dari perbuatannya. Bumi pertiwi tempat manusia Jawa
hidup juga adalah tempat yang cukup kontemplatif untuk mencari solusi bagaimana
ia dapat berjuang untuk keselamatannya dan bertahan hidup hingga akhir
hayatnya. Hidup damai diantara kekuatan alam di bumi Jawa, tanah airnya.
Alam spiritual
orang Jawa juga ditentukan oleh kepercayaan "Pajupat Kalima Pancer"
bahwa setiap orang mempunyai empat "kakak-beradik" spiritual, yaitu
kakang kawah (placenta) dan adhi ari-ari (cairan amniotik). Dibangunnya
mitos-mitos ini juga penting untuk desa (village) maupun keraton (royal –
court), sedangkan kedudukan istimewa keraton ditegaskan melalui mitos
perkawinan raja-raja dinasti Mataram dengan Kandjeng Ratu Kencana Sari atau
lebih dikenal dengan Kandjeng Ratu Kidul di arah mata angin selatan dan
hubungan kekerabatan khususnya dengan Sanghyang Bathari Kalayuwati di arah mata
angin utara, Kandjeng Sunan Lawu di arah mata angin timur, Eyang Merapi di arah
mata angin barat.
Mereka
sebenarnya menawarkan sebuah identitas baru bagi individu Jawa: identitas
sebagai anggota "umat" yang berkumpul dalam tempat-tempat ibadah baru
berbentuk bangunan buatan tangan manusia, sehingga individu bisa bersujud di
hadapan "Tuhan"nya. Dengan demikian, bagi individu Jawa dibuka
kemungkinan untuk lepas dari komunitasnya. Kini disekitar kita semua telah
berubah sesuai dengan berkembang majunya zaman dari tradisional menuju
modernisasi. Karakter orang Jawa jika berhadapan dengan dunia luar, ia memang
akan mempresentasikan diri sebagai orang yang beragama. Akan tetapi, pengertian
dirinya "ke dalam" tetap berakar dalam geografi spiritual asalnya.
Sampai hari ini masyarakat Jawa, meskipun menyatakan agamis sekalipun,
merupakan "masyarakat pasca-tradisional yang tradisi-tradisi Kedjawen-nya
menolak untuk dihilangkan".
Masyarakat
berkepribadian Jawa yang menyatakan agamis, tetapi "Keagamaan"
Jawa-nya bersifat multi-lapis, multi-tafsir dan multi-wajah. Mereka tetaplah
seorang yang Jawa, meski terlahir dari hasil senggama antara daging dan doktrin
sekalipun darahnya tetap saja seorang Jawa. Karena evolusi masyarakat Jawa
dalam perkembangannya selama ratusan tahun dan dalam perubahannya hingga
sekarang tidak terhenti dan masih berproses untuk menentukan dan menuju
identitas bangsa yang berkualitas.
Sumber :
Observasi/
pengamatan langsung di lapangan dalam prosesi Mahesa Lawung, (4 April 2011)
Gambar
diambil dari dokumentasi pribadi.
Bismillah. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
BalasHapusMba Nura yang semoga Allah memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam iman dan islam.
dikatakan bahwa : " sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan dan juga memohon kepada Tuhan untuk keselamatan serta kesejahteraan Keraton Kasunanan Surakarta pada khususnya dan Negara Indonesia pada umumnya". Kalimat inilah yang menutupi heketakat sebenarnya dari ritual ini. Sebuah kalimat yang biasa dilontarkan oleh musrikin qurais ketika diajak supaya islam mereka menolak yaitu bahwa mereka tidak menyembah berhala tetapi hanya bermaksud mendekatkan diri kepada Allah ( QS Az Zumar :3) masih banyak ucapan atau kegiatan yang menutupi kegiatan kesyirikan, seperti :
1. Melestarikan budaya nenek moyang? ...Budaya yang mana dulu? sopan santun, bersih desa, gotong royong mabangun rumah? kalau ini OK tapi kalau budaya nyajeni..ritual ini dan itu..itu tradisi kesyirikan. kalau sudah islam harus berlepas diri dan tidak cawe- cawe
2. Melestarikan budaya lokal
3. Nguri- nguri kabudayan ( kalimat nomor 2 dan 3 di lihat konteknya dulu)
4. Dalam acara ritual sesaji diucapkan ayat alqur'an.( ini hanya akal- akalan saja supaya terlihat islami )
dibalik itu sebenarnya mereka sedang beribadah kepada selain Allah . Jadi bukan sedikit menyimpang dari islam tetapi sudah diluar islam. Apa indikasinya ini pertanyaannya :
1. Bagaimana mungkin bersyukur dengan memendam kepala kerbau ? menyediakan sesaji ?
2. Mengapa bersyukurnya bukan secara islam ? dll bisa dilihat melalui publikasi foto-fotonya
3. Kalau ditanya mengapa diadakan, jawabannya " bersyukur kepada Allah". Coba sekali kali ditanya : Bagaimana kalau tidak diadakan ? pastibaru ketahuan dibalik itu semuanya.
Alhamdulillah semoga Allah menghindarkan saya dan keturunan saya dari ritual seperti ini.