Jumat, 09 Maret 2012

Apresiasi Sastra "Geguritan Karya Surtikanti"


Ketulusan Cinta Surtikanti Tertuang dalam Geguritan
Oleh : Wulan Esti Nurani

Dalam tulisan kali ini saya akan menguraikan hasil penghayatan saya terhadap beberapa puisi/ geguritan karya Surtikanti yang dimuat dalam suatu majalah pendidikan. Menurut penghayatan saya, geguritan karya Surtikanti memiliki suatu keterkaitan antara judul satu dengan judul yang lain. Uraiannya sebagai berikut. 
Geguritan iki, gurite sepi

Ing ngendi geguritan iki bisa dak titipake
Jer kahanan wus ora nyawisake papan
Tembung - tembung edipeni
Trima sinampirake ing mega malang
Ora akeh maneh sing setya nganthi
Utawa ngonceki manik-manik ing sajrone
Dalah trima sinawang minangka
Ukara mati
Geguritan iki
Saderma guritan sepi
Ukara kang rinoncen awit kehanan
Kang mingget ati…
Yen ati tumlawung
Guritan lagi komanan papan
Yagene mengkono?
Emmmh,
Ora ana wangsulane
Mung enebe ati kang bisa mangsuli

Dalam geguritan yang berjudul “Geguritan iki, gurite sepi”. Tergambar jelas bagaimana perasaan Surtikanti saat merangkai kata-kata menjadi sebuah geguritan tersebut. Dia dilanda perasaan sedih dan bimbang, dia ingin mengungkapkan semua perasaannya lewat geguritan namun ia merasa tidak mempunyai tempat atau wadah untuk menuangkannya tergambar dari kata Ing ngendi geguritan iki bisa dak titipake. Jer kahanan wus ora nyawisake papan. Tergambar bagaimana perasaannya yang miris karena rangkaian kata-kata indah berwujud geguritan sudah tidak mendapatkan tempat lagi, seolah hanya terpajang di awan yang malang, sudah tidak ada orang yang mempedulikannya lagi dan sudah tidak ada lagi orang yang berusaha menguraikan isi dalam tulisan tersebut Karena hanya dianggap tulisan mati. Lalu dia berkata lewat geguritannya Saderma guritan sepi. Ukara kang rinoncen awit kehanan. Kang mingget ati…
Dalam bait puisi tersebut dia berkata bahwa geguritan ini adalah geguritan yang sepi, kata-kata yang terangkai menurut keadaan dan kenyataan sesungguhnya yang membuat hati menjadi miris dan saat hati tertutup geguritan justru baru mendapatkan tempat, dia bertanya dalam hati kenapa demikian? Namun tidak ditemukan jawaban atas pertanyaannya itu dan kemudian hanya akan menjadi endapan dihati.
Isih Sumampir

Dakgurit ukara tresna katur akasa
Apa iku natoni atimu
Apa iku nyiset rasamu
Awit mbradhat wangine kidung lungid
Nuli kemalan kasmaran
Sadalan-dalan nagih janji
Krana sedya nyinarawidekake
Isi dhadha kang ora padha

Dakgurit kidung tresna ngrembuyung
Kang sumampir ing gapura langit
Undhuhen wanci cenggeretnong
Lelagon padhang lintang
Dupi mayuh nang-nangan kanyatan.
Lan sumampir, isih sumampir
Nganti ngancik wektune
Tumus kanyatan
Aku kang ngadhang
Angin kirimanmu nalika iku.

Pada geguritan ini saya menangkap bahwa sebenarnya pengarang membutuhkan tempat untuk menuangkan perasaannya dalam bentuk geguritan. Sepertinya ada sesuatu hal yang ingin ia sampaikan lewat geguritan dan ia berharap agar ada tempat untuknya menyampaikan curahan hatinya tersebut. Sebelumnya pengarang mengungkapkan bahwa seolah-olah geguritan hanya terpajang di awan yang malang tercuplik dari bait berikut Tembung - tembung edipeni. Trima sinampirake ing mega malang.  Kata sinampirake menggambarkan bahwa hanya menjadi sampiran atau tergantung sebagai pajangan yang dianggap tidak penting. Dari kata inilah terungkap bahwa ada sesuatu yang dimaksud oleh pengarang bahwa ada hal yang masih semampir yang sebenarnya adalah hal penting yang ditujukan untuk seseorang. Dan hal ini terungkap lewat geguritan berikut :
Isih Sumampir adalah judul geguritan karya Surtikanti berikutnya yang saya anggap bersinambungan dengan geguritan yang telah diuraikan sebelumnya. Bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan pengarang pada seseorang lewat geguritannya. Dari bait pertama Dakgurit ukara tresna katur akasa.  Ia menuliskan kata cinta kepada langit dan ia bertanya pada orang yang dimaksud apakah hal itu melukai hatinya, apakah semua itu mengikat perasaannya. Pengarang yang sedang merasakan kasmaran atau jatuh cinta, menanti sebuah janji yang semestinya ditepati, tapi bagaimana hal tersebut dapat terwujud sedangkan ia sadar bahwa mungkin perasaan yang sedang dirasanya tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh orang yang dimaksud. Karena setiap kepala mempunyai pemikiran yang berbeda demikian pulan dengan hati dan perasaan, setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda.
Dakgurit kidung tresna ngrembuyung. Kang sumampir ing gapura langit. Bait ini tercipta mungkin karena suasana hati dan perasaan pengarang yang sedih karena cinta yang didambanya tak berbalas. Di ibaratkan cintanya ia gantung dilangit, dia berharap untuk sang pujaan hati memetik cinta itu pada saat yang terang, pada saat yang indah dan berharap semua itu akan menjadi kenyataan yang akan selalu dinantinya.
Lan sumampir, isih sumampir. Nganti ngancik wektune. Tumus kanyatan.  Cuplikan geguritan ini menggambarkan betapa pengarang sangat mengharapkan cintanya berbalas dan menjadi sebuah kenyataan. Cinta itu masih sumampir, masih tergantung sampai waktunya tiba yaitu waktu yang menjadikannya nyata. Aku kang ngadhang, Angin kirimanmu nalika iku. Ia menegaskan bahwa dialah orang yang menanti pujaannya, akibat dari benih cinta yang tumbuh dihatinya yang menjadikannya jatuh cinta dan menunggu balasan dan jawaban dari cintanya yang tulus,
Dalam geguritan berjudul Isih Sumampir ini terdapat bait yang berbunyi, Dakgurit kidung tresna ngrembuyung, Kang sumampir ing gapura langit, Undhuhen wanci cenggeretnong, Lelagon padhang lintang, bait tersebut saya tafsirkan bahwa cinta dan harapan yang tergantung itu  diharapkan dipetik pada waktu yang indah, tergambar keindahan seperti pada waktu senja, menjelang malam yang indah karena disinari rembulan.
Dengan analisis ini saya menilai bahwa geguritan ketiga yang berjudul “Guritan Ngancik Surup” adalah geguritan selanjutnya yang mempertegas bagaimana ia sangat menanti balasan cintanya dan ia menunjukkan setulus-tulusnya cinta yang ia tawarkan.

Guritan Ngancik Surup

Anjang-anjang donga ing sakupengmu
Iku tandha tresnaku
Menawa wae sawijining wektu mengko
Koktagih wujude
Ya mung iku bandhaku
Rajabrana uga kasetyan tanpa pepindhan
Kang biyen dakangsu
Saka eluhe biyung
Kembanging sang ponang nala kemayang
Piwelingku tunggunen, mula
Awit miturut gotheking akeh ana sing demen
Saengga kepaten sunar peparinge Gusti kuwi

Anjang-anjang donga iki
Tandha sihku tanpa wekasan
Dak titipake angin wengi semilir kekitrang
Kapan kok pugut
Aku ngrantu nganti lejaring atimu

Ketulusan cinta itu tergambar dari kalimat-kalimat awal yang disampaikan dalam geguritan itu bahwa tanda cintanya hanyalah kekuatan atau tempat sandarannya adalah doa yang selalu menyertai pujaan hatinya dimana ia berada, seolah tidak ada wujud lain dari cinta kecuali doa.
Ia suguhkan kesetiaan, yang ia teladani dari seorang ibu yang menjadi suatu beruntungan baginya. Ia menyampaikan suatu pesan bahwa wujud cinta seperti banyak yang menyukai dan ingatlah bahwa sinar terang dan sinar redup serta kehidupan dan kematian semua itu adalah pemberian Tuhan. Semua yang ada merupakan titipan Tuhan.
Diakhir geguritan pengarang menegaskan kembali akan ketulusan cintanya. Ia berkata bahwa kekuatan doa yang berada mengelilingi pujaan hatinya adalah tanda cintanya yang tak berkesudahan, tak bertepi dan tanpa batas, ia panjatkan doa disetiap malam. Kapan saja cinta itu akan diambil ia pasrah dan menunggu sampai hati kekasihnya terbuka dan menerima ketulusan cinta yang ia suguhkan dalam kehidupan.
Dari ketiga judul puisi yang bersinambung ini saya menghayati bahwa Surtikanti memilih geguritan sebagai wadah untuknya menuangkan segala keluh kesah hatinya, pada awalnya ia bingung karena merasa tidak ada tempat baginya untuk menuangkan curahan hati dalam bentuk geguritan. Namun pada akhirnya ia tetap menulis geguritan dimana isi dari geguritan tersebut adalah perasaan yang selama ini ia rasakan. Geguritan adalah sahabat baginya, seolah ia berbicara dengan teman khayalannya dalam setiap geguritannya. 











Tidak ada komentar:

Posting Komentar