Ketulusan Cinta Surtikanti Tertuang
dalam Geguritan
Oleh : Wulan Esti Nurani
Dalam
tulisan kali ini saya akan menguraikan hasil penghayatan saya terhadap beberapa
puisi/ geguritan karya Surtikanti yang dimuat dalam suatu majalah pendidikan. Menurut
penghayatan saya, geguritan karya Surtikanti memiliki suatu keterkaitan antara
judul satu dengan judul yang lain. Uraiannya sebagai berikut.
Geguritan
iki, gurite sepi
Ing ngendi geguritan iki bisa dak titipake
Jer kahanan wus ora nyawisake papan
Tembung - tembung edipeni
Trima sinampirake ing mega malang
Ora akeh maneh sing setya nganthi
Utawa ngonceki manik-manik ing sajrone
Dalah trima sinawang minangka
Ukara mati
Geguritan iki
Saderma guritan sepi
Ukara kang rinoncen awit kehanan
Kang mingget ati…
Yen ati tumlawung
Guritan lagi komanan papan
Yagene mengkono?
Emmmh,
Ora ana wangsulane
Mung enebe ati kang bisa mangsuli
Dalam
geguritan yang berjudul “Geguritan iki, gurite sepi”. Tergambar jelas bagaimana
perasaan Surtikanti saat merangkai kata-kata menjadi sebuah geguritan tersebut.
Dia dilanda perasaan sedih dan bimbang, dia ingin mengungkapkan semua
perasaannya lewat geguritan namun ia merasa tidak mempunyai tempat atau wadah
untuk menuangkannya tergambar dari kata Ing
ngendi geguritan iki bisa dak titipake. Jer kahanan wus ora nyawisake papan.
Tergambar
bagaimana perasaannya yang miris karena rangkaian kata-kata indah berwujud
geguritan sudah tidak mendapatkan tempat lagi, seolah hanya terpajang di awan
yang malang, sudah tidak ada orang yang mempedulikannya lagi dan sudah tidak
ada lagi orang yang berusaha menguraikan isi dalam tulisan tersebut Karena
hanya dianggap tulisan mati. Lalu dia berkata lewat geguritannya
Saderma guritan sepi. Ukara kang rinoncen
awit kehanan. Kang mingget ati…
Dalam
bait puisi tersebut dia berkata bahwa geguritan ini adalah geguritan yang sepi,
kata-kata yang terangkai menurut keadaan dan kenyataan sesungguhnya yang
membuat hati menjadi miris dan saat hati tertutup geguritan justru baru
mendapatkan tempat, dia bertanya dalam hati kenapa demikian? Namun tidak
ditemukan jawaban atas pertanyaannya itu dan kemudian hanya akan menjadi
endapan dihati.
Isih Sumampir
Dakgurit
ukara tresna katur akasa
Apa
iku natoni atimu
Apa
iku nyiset rasamu
Awit
mbradhat wangine kidung lungid
Nuli
kemalan kasmaran
Sadalan-dalan
nagih janji
Krana
sedya nyinarawidekake
Isi
dhadha kang ora padha
Dakgurit
kidung tresna ngrembuyung
Kang
sumampir ing gapura langit
Undhuhen
wanci cenggeretnong
Lelagon
padhang lintang
Dupi
mayuh nang-nangan kanyatan.
Lan
sumampir, isih sumampir
Nganti
ngancik wektune
Tumus
kanyatan
Aku
kang ngadhang
Angin
kirimanmu nalika iku.
Pada geguritan ini saya menangkap
bahwa sebenarnya pengarang membutuhkan tempat untuk menuangkan perasaannya
dalam bentuk geguritan. Sepertinya ada sesuatu hal yang ingin ia sampaikan
lewat geguritan dan ia berharap agar ada tempat untuknya menyampaikan curahan
hatinya tersebut. Sebelumnya pengarang mengungkapkan bahwa seolah-olah
geguritan hanya terpajang di awan yang malang tercuplik dari bait berikut Tembung - tembung edipeni.
Trima sinampirake ing mega malang. Kata sinampirake
menggambarkan bahwa hanya menjadi sampiran
atau tergantung sebagai pajangan yang dianggap tidak penting. Dari kata inilah
terungkap bahwa ada sesuatu yang dimaksud oleh pengarang bahwa ada hal yang
masih semampir yang sebenarnya adalah
hal penting yang ditujukan untuk seseorang. Dan hal ini terungkap lewat
geguritan berikut :
Isih
Sumampir adalah judul geguritan karya Surtikanti berikutnya yang saya anggap
bersinambungan dengan geguritan yang telah diuraikan sebelumnya. Bahwa ada
sesuatu yang ingin disampaikan pengarang pada seseorang lewat geguritannya.
Dari bait pertama Dakgurit
ukara tresna katur akasa. Ia menuliskan kata
cinta kepada langit dan ia bertanya pada orang yang dimaksud apakah hal itu
melukai hatinya, apakah semua itu mengikat perasaannya. Pengarang yang sedang
merasakan kasmaran atau jatuh cinta,
menanti sebuah janji yang semestinya ditepati, tapi bagaimana hal tersebut
dapat terwujud sedangkan ia sadar bahwa mungkin perasaan yang sedang dirasanya
tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh orang yang dimaksud. Karena setiap
kepala mempunyai pemikiran yang berbeda demikian pulan dengan hati dan
perasaan, setiap orang mempunyai perasaan yang berbeda.
Dakgurit kidung tresna
ngrembuyung. Kang sumampir ing gapura langit. Bait
ini tercipta mungkin karena suasana hati dan perasaan pengarang yang sedih
karena cinta yang didambanya tak berbalas. Di ibaratkan cintanya ia gantung dilangit,
dia berharap untuk sang pujaan hati memetik cinta itu pada saat yang terang,
pada saat yang indah dan berharap semua itu akan menjadi kenyataan yang akan
selalu dinantinya.
Lan sumampir, isih sumampir.
Nganti ngancik wektune. Tumus kanyatan. Cuplikan geguritan ini
menggambarkan betapa pengarang sangat mengharapkan cintanya berbalas dan
menjadi sebuah kenyataan. Cinta itu masih sumampir, masih tergantung sampai
waktunya tiba yaitu waktu yang menjadikannya nyata. Aku
kang ngadhang, Angin kirimanmu nalika iku. Ia menegaskan
bahwa dialah orang yang menanti pujaannya, akibat dari benih cinta yang tumbuh
dihatinya yang menjadikannya jatuh cinta dan menunggu balasan dan jawaban dari
cintanya yang tulus,
Dalam
geguritan berjudul Isih Sumampir ini terdapat bait yang berbunyi, Dakgurit kidung tresna
ngrembuyung, Kang sumampir ing gapura langit, Undhuhen wanci cenggeretnong,
Lelagon padhang lintang, bait tersebut
saya tafsirkan bahwa cinta dan harapan yang tergantung itu diharapkan dipetik pada waktu yang indah, tergambar
keindahan seperti pada waktu senja, menjelang malam yang indah karena disinari
rembulan.
Dengan
analisis ini saya menilai bahwa geguritan ketiga yang berjudul “Guritan Ngancik
Surup” adalah geguritan selanjutnya yang mempertegas bagaimana ia sangat menanti
balasan cintanya dan ia menunjukkan setulus-tulusnya cinta yang ia tawarkan.
Guritan Ngancik
Surup
Anjang-anjang
donga ing sakupengmu
Iku
tandha tresnaku
Menawa
wae sawijining wektu mengko
Koktagih
wujude
Ya
mung iku bandhaku
Rajabrana
uga kasetyan tanpa pepindhan
Kang
biyen dakangsu
Saka
eluhe biyung
Kembanging
sang ponang nala kemayang
Piwelingku
tunggunen, mula
Awit
miturut gotheking akeh ana sing demen
Saengga
kepaten sunar peparinge Gusti kuwi
Anjang-anjang
donga iki
Tandha
sihku tanpa wekasan
Dak
titipake angin wengi semilir kekitrang
Kapan
kok pugut
Aku
ngrantu nganti lejaring atimu
Ketulusan cinta itu tergambar dari
kalimat-kalimat awal yang disampaikan dalam geguritan itu bahwa tanda cintanya
hanyalah kekuatan atau tempat sandarannya adalah doa yang selalu menyertai
pujaan hatinya dimana ia berada, seolah tidak ada wujud lain dari cinta kecuali
doa.
Ia
suguhkan kesetiaan, yang ia teladani dari seorang ibu yang menjadi suatu
beruntungan baginya. Ia menyampaikan suatu pesan bahwa wujud cinta seperti banyak
yang menyukai dan ingatlah bahwa sinar terang dan sinar redup serta kehidupan
dan kematian semua itu adalah pemberian Tuhan. Semua yang ada merupakan titipan
Tuhan.
Diakhir
geguritan pengarang menegaskan kembali akan ketulusan cintanya. Ia berkata bahwa
kekuatan doa yang berada mengelilingi pujaan hatinya adalah tanda cintanya yang
tak berkesudahan, tak bertepi dan tanpa batas, ia panjatkan doa disetiap malam.
Kapan saja cinta itu akan diambil ia pasrah dan menunggu sampai hati kekasihnya
terbuka dan menerima ketulusan cinta yang ia suguhkan dalam kehidupan.
Dari
ketiga judul puisi yang bersinambung ini saya menghayati bahwa Surtikanti
memilih geguritan sebagai wadah untuknya menuangkan segala keluh kesah hatinya,
pada awalnya ia bingung karena merasa tidak ada tempat baginya untuk menuangkan
curahan hati dalam bentuk geguritan. Namun pada akhirnya ia tetap menulis
geguritan dimana isi dari geguritan tersebut adalah perasaan yang selama ini ia
rasakan. Geguritan adalah sahabat baginya, seolah ia berbicara dengan teman
khayalannya dalam setiap geguritannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar