Cak Nun : Mendewakan Gengsi untuk “Martabat”? NO!!
Oleh
Wulan Esti Nurani
Budayawan
Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Suami
Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik Kyai Kanjeng, yang dipanggil akrab Cak
Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang
merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan
sinergi ekonomi.
Lima
tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar
sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang
hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya. Karirnya
diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970).
Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976),
sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai
Kanjeng hingga kini.
Cak
Nun juga merupakan seorang penulis, ia telah menulis 6 buku puisi selain itu dia
juga menulis berbagai judul cerpen yang dimuat diberbagai majalah, salah
satunya berjudul Satu Truk Pasir yang kemudian dijadikan Cerkak berjudul
“Wedhi” yang dimuat dalam majalah GENTA edisi 20 Januari - 4 Februari 2007.
Gengsi demi Martabat!
Dalam
cerkak Wedhi ini Cak Nun memberikan gambaran seseorang yang mempunyai gengsi
yang tinggi sehingga ia melakukan segala hal yang dianggapnya dapat menjunjung
martabatnya dimata masyarakat sekitarnya. Pada alinea pertama cerkaknya Cak Nun
mengungkapkan hal tersebut.
“Urip iki kude kebak gengsi. Sebab
ana ing gengsi mau panggonane martabat. Lan martabat, apa sing bisa disuguhke
satengahe kanca-kanca, tangga utawa kenalan-kenalan?”
Cerkak
Wedhi terdiri dari beberapa alinea. Pada alinea-alinea awal pengarang
mengungkapkan bahwa gengsi dapat menjunjung martabat dimata masyarakat, namun setelah pembaca mendalami cerkak
Wedhi maka akan menemukan sesuatu yang nampaknya adalah sebuah nasehat yang
disampaikan secara implisit. Bahwa sesungguhnya martabat bukan terletak kepada
sebuah gengsi namun martabat adalah sikap dimana kita senantiasa bersyukur atas
apa yang kita miliki, dan hendaknya bersikap apa adanya tanpa bertindak
berlebih-lebihkan apalagi sampai berbohong hanya karena sebuah gengsi yang
dianggap dapat meningkatkan martabat atau kehormatan.
Dalam
cerkak Wedhi digambarkan suatu tokoh bernama Broto merupakan seorang yang
dipandang baik di lingkup pergaulannya. Ia selalu membantu menolong orang tanpa
meminta upah dari kerja kerasnya. Dengan sikap yang demikian orang
disekelilingnya menilai bahwa ia adalah orang yang luhur budi, baik hati dan
ikhlas dalam perbuatannya. Namun pada kenyataannya Gondo menginginkan sesuatu
yang lain dari sekedar upah yaitu ia seseorang yang haus akan pujian dari orang
lain. Ia merasa senang jika ia dianggap baik oleh orang disekitarnya. Tapi dibalik
itu semua Gondo adalah orang miskin yang hidup serba kekurangan, ia hanya
memikirkan bagaimana cara supaya terlihat “wah” dimata orang laim, namun
didalam keluarganya ia tidak memikirkan jatah makan anak dan istrinya ia seolah
tidak membutuhkan upah dari hasil kerjanya, hal demikian yang disebut gengsi.
Gengsi? Perlukah?
Dalam
karya sastra Cak Nun yang berwujud cerkak berjudul Wedhi ini, Cak Nun seolah
membenarkan gengsi yang dinyatakan pada awal cerita, namun Cak Nun juga
seakan-akan menolak sendiri pernyataan dalam cerkaknya tersebut, seperti
cuplikan naskah berikut :
“Urip
iki kudu kebak gengsi. Sebab ana ing gengsi mau panggonane martabat. Lan
martabat, apa sing bisa disuguhke satengahe kanca-kanca, tangga utawa
kenalan-kenalan?. Sapa wae neng ndonya
iki mesti mbenerke bab iki. Yen ora sepurane wae, ora usah kenal karo Gondo
Laksono lan jroning urip iki aja pisan-pisan nyebut jenenge”
Terlihat
jelas bagaimana Cak Nun mengungkapkan inti ceritanya, kekuatan dari
kata-katanya mampu memaksa pembaca untuk brfikir bagaimana pembaca menyikapi
yang namanya gengsi dan martabat.
Jika
kita membaca dengan seksama cerkak Wedhi, maka kita akan berpikir realistis
tentang kehidupan ini, Cak Nun mengajarkan bahwa apa yang kita punya hendaknya
kita syukuri. Apa yang belum bisa untuk kita miliki hendaknya kita berikhtiar
dengan sungguh-sungguh. Suatu gengsi yang kita pertahankan hanya untuk satu
ungkapan “wah” dari oranglain adalah tindakan yang tidak pantas kita lakukan,
karena hal tersebut dapat menjadi boomerang bagi kita sendiri dimana ungkapan
“wah’ tersebut akan berubah menjadi cacian untuk kita dari oranglain.
Amanat
tersirat dari Cak Nun yaitu selama kita melakukan tindakan yang baik, halal dan
tidak merugikan oranglain maka disitulah letak kehormatan dan martabat kita
dimata masyarakat sekitar kita. Bukan karena suatu gengsi.