Jumat, 18 Mei 2012

Apresiasi Pengarang Cerkak "Cak Nun"


Cak Nun : Mendewakan Gengsi untuk “Martabat”? NO!!

Oleh

 Wulan Esti Nurani


Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik Kyai Kanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi.
Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya. Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini.
Cak Nun juga merupakan seorang penulis, ia telah menulis 6 buku puisi selain itu dia juga menulis berbagai judul cerpen yang dimuat diberbagai majalah, salah satunya berjudul Satu Truk Pasir yang kemudian dijadikan Cerkak berjudul “Wedhi” yang dimuat dalam majalah GENTA edisi 20 Januari - 4 Februari 2007.

Gengsi demi Martabat!

Dalam cerkak Wedhi ini Cak Nun memberikan gambaran seseorang yang mempunyai gengsi yang tinggi sehingga ia melakukan segala hal yang dianggapnya dapat menjunjung martabatnya dimata masyarakat sekitarnya. Pada alinea pertama cerkaknya Cak Nun mengungkapkan hal tersebut.

“Urip iki kude kebak gengsi. Sebab ana ing gengsi mau panggonane martabat. Lan martabat, apa sing bisa disuguhke satengahe kanca-kanca, tangga utawa kenalan-kenalan?”
Cerkak Wedhi terdiri dari beberapa alinea. Pada alinea-alinea awal pengarang mengungkapkan bahwa gengsi dapat menjunjung martabat dimata masyarakat, namun setelah pembaca mendalami cerkak Wedhi maka akan menemukan sesuatu yang nampaknya adalah sebuah nasehat yang disampaikan secara implisit. Bahwa sesungguhnya martabat bukan terletak kepada sebuah gengsi namun martabat adalah sikap dimana kita senantiasa bersyukur atas apa yang kita miliki, dan hendaknya bersikap apa adanya tanpa bertindak berlebih-lebihkan apalagi sampai berbohong hanya karena sebuah gengsi yang dianggap dapat meningkatkan martabat atau kehormatan.
Dalam cerkak Wedhi digambarkan suatu tokoh bernama Broto merupakan seorang yang dipandang baik di lingkup pergaulannya. Ia selalu membantu menolong orang tanpa meminta upah dari kerja kerasnya. Dengan sikap yang demikian orang disekelilingnya menilai bahwa ia adalah orang yang luhur budi, baik hati dan ikhlas dalam perbuatannya. Namun pada kenyataannya Gondo menginginkan sesuatu yang lain dari sekedar upah yaitu ia seseorang yang haus akan pujian dari orang lain. Ia merasa senang jika ia dianggap baik oleh orang disekitarnya. Tapi dibalik itu semua Gondo adalah orang miskin yang hidup serba kekurangan, ia hanya memikirkan bagaimana cara supaya terlihat “wah” dimata orang laim, namun didalam keluarganya ia tidak memikirkan jatah makan anak dan istrinya ia seolah tidak membutuhkan upah dari hasil kerjanya, hal demikian yang disebut gengsi.

Gengsi? Perlukah?

Dalam karya sastra Cak Nun yang berwujud cerkak berjudul Wedhi ini, Cak Nun seolah membenarkan gengsi yang dinyatakan pada awal cerita, namun Cak Nun juga seakan-akan menolak sendiri pernyataan dalam cerkaknya tersebut, seperti cuplikan naskah berikut :

Urip iki kudu kebak gengsi. Sebab ana ing gengsi mau panggonane martabat. Lan martabat, apa sing bisa disuguhke satengahe kanca-kanca, tangga utawa kenalan-kenalan?. Sapa wae neng ndonya iki mesti mbenerke bab iki. Yen ora sepurane wae, ora usah kenal karo Gondo Laksono lan jroning urip iki aja pisan-pisan nyebut jenenge”
Terlihat jelas bagaimana Cak Nun mengungkapkan inti ceritanya, kekuatan dari kata-katanya mampu memaksa pembaca untuk brfikir bagaimana pembaca menyikapi yang namanya gengsi dan martabat.  
Jika kita membaca dengan seksama cerkak Wedhi, maka kita akan berpikir realistis tentang kehidupan ini, Cak Nun mengajarkan bahwa apa yang kita punya hendaknya kita syukuri. Apa yang belum bisa untuk kita miliki hendaknya kita berikhtiar dengan sungguh-sungguh. Suatu gengsi yang kita pertahankan hanya untuk satu ungkapan “wah” dari oranglain adalah tindakan yang tidak pantas kita lakukan, karena hal tersebut dapat menjadi boomerang bagi kita sendiri dimana ungkapan “wah’ tersebut akan berubah menjadi cacian untuk kita dari oranglain.
Amanat tersirat dari Cak Nun yaitu selama kita melakukan tindakan yang baik, halal dan tidak merugikan oranglain maka disitulah letak kehormatan dan martabat kita dimata masyarakat sekitar kita. Bukan karena suatu gengsi.


Apresiasi Pengarang : Emha Ainun Nadjid

 (Cerkak “Wedhi” di majalah GENTA

edisi 20 januari – 4 Februari 2007)